Frensia.id- Tim Akademisi dari Universitas Jember (UNEJ), Syakhira Jasmine Muntasya dan rekan-rekannya, mengungkapkan hasil kajian yang menyoroti perkembangan signifikan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, terutama terkait dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negara ini pada tahun 2018.
Berdasarkan penelitian mereka, IPK Indonesia mengalami peningkatan, dengan negara ini naik tujuh peringkat, dari posisi 96 menjadi 89 dari 180 negara. Kenaikan ini menjadi sinyal positif bagi pemberantasan korupsi dan memberikan harapan baru bagi masyarakat bahwa ada perbaikan nyata dalam penegakan hukum terkait korupsi di Indonesia.
Peningkatan ini, menurut para peneliti, adalah hasil dari sejumlah langkah terobosan yang diambil pemerintah, salah satunya adalah kebijakan pencabutan hak politik bagi pelaku tindak pidana berat, termasuk kasus korupsi.
Mantan narapidana kejahatan berat seperti kejahatan seksual terhadap anak, bandar narkoba, dan koruptor dilarang untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2019. Langkah ini diyakini merupakan salah satu cara untuk menciptakan efek jera yang kuat, mencegah mereka yang terlibat dalam kejahatan serius agar tidak memiliki akses kembali ke dunia politik.
Dalam penelitian ini, Syakhira dan rekan-rekannya menggunakan metode penelitian hukum (legal research) yuridis normatif, dengan pendekatan undang-undang. Pendekatan ini digunakan untuk mengidentifikasi prinsip-prinsip hukum, doktrin, dan aturan yang relevan guna menjawab berbagai isu hukum terkait pembatasan hak politik bagi mantan narapidana korupsi.
Salah satu fokus utama dalam penelitian ini adalah politik hukum yang diterapkan oleh pemerintah dalam pemberantasan korupsi, khususnya dalam upaya membatasi hak politik mantan koruptor.
Kebijakan ini telah memicu diskusi dan pro-kontra di tengah masyarakat. Di satu sisi, banyak pihak yang mendukung langkah pencabutan hak politik ini sebagai upaya penting dalam menciptakan tatanan politik yang lebih bersih dan berintegritas.
Pendukung kebijakan ini berargumen bahwa korupsi adalah kejahatan serius yang tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak moralitas bangsa. Oleh karena itu, mantan pelaku korupsi tidak seharusnya diberi kesempatan kembali ke posisi kekuasaan.
Namun, di sisi lain, terdapat kelompok yang menentang kebijakan ini dengan alasan bahwa pencabutan hak politik dianggap melanggar hak asasi manusia. Mereka berpendapat bahwa mantan narapidana yang telah menyelesaikan hukumannya seharusnya diberi kesempatan untuk kembali ke masyarakat, termasuk menggunakan hak politiknya.
Kelompok ini menyoroti pentingnya rehabilitasi dan reintegrasi mantan narapidana ke dalam kehidupan sosial, tanpa harus terus-menerus menerima stigma.
Meskipun terdapat perdebatan, tim peneliti berpendapat bahwa pencabutan hak politik bagi mantan narapidana korupsi adalah langkah yang tepat untuk menjaga integritas politik di Indonesia. Langkah ini diharapkan mampu mencegah mantan koruptor berpartisipasi dalam politik dan menjaga agar demokrasi Indonesia terus berjalan dengan lebih bersih dan kredibel.
Selain itu, kebijakan ini dipandang sebagai instrumen penting dalam menciptakan efek jera bagi para pelaku korupsi, sekaligus memastikan bahwa hanya individu yang memiliki rekam jejak bersih yang berhak menjadi pemimpin di masa depan.