Frensia.id – Menyimak kasus korupsi pengeloaan timah yang menelan kerugian negara hingga Rp. 300 triliun, bangsa ini sedang dihadapkan pada paradoks keadilan dan matinya hukum. Bagaimana tidak? sanksi kepada para pelaku, dengan segala kejahatan yang mereka perbuat, tampak seperti lelucon menyakitkan bagi rakyat.
Publik Pun geram, ditengah keresahan yang memuncak, pertanyaan dan keinginan menjadi koruptor tersiar di media sosial: Seakan menjadi koruptor saat ini pilihan hidup yang lebih “menguntungkan”?
Bayangkan saja, kerugian negara 300 triliun ini setara dengan puluhan anggaran pendidikan daerah, hanya “ditebus” dengan hukuman mendekam dibalik jeruji besi dalam waktu singkat serta denda yang sangat remeh dibandingkan nilai korupsi itu sendiri.
Siapa yang tidak tergiur dengan ‘pekerjaan’ menguntungkan semacam ini? Mereka sama sekali tak punya beban moral atas kehancuran yang mereka ciptakan, paling banter ia khawatir pada kenyamanan fasilitas penjara.
Kasus korupsi besar-besaran ini semakin menunjukkan menukiknya kualitas sistem hukum kita. Betapa tidak? Korupsi dengan kerugian triliunan rupiah hanya berbuah hukuman 5–8 tahun penjara. Benar-benar diobral keadilan bagi para koruptor? Ditambah lagi, dalam praktiknya bisa saja dipotong remisi atau berakhir dengan fasilitas mewah di balik jeruji.
Bandingkan dengan rakyat kecil yang mencuri makanan karena lapar, dihukum tanpa ampun, bahkan terkadang lebih lama. Lebih “menguntungkan” jadi seorang koruptor? Pekerjaan apa yang menjanjikan triliunan hanya dalam waktu 8 tahun? Mungkin, bisa bagi Elon Musk – Pendiri Tesla atau Jeff Bezos – Pendiri Amazon, tapi bagi orang di Indonesia, tampaknya mustahil. Kecuali, memilih menjadi koruptor.
Tak heran cuitan satir ramai membanjiri media sosial. Misal, sindiran “beri kami uang 300 triliun, dan kami siap dipenjara”. Ada pula yang siap gantikan koruptor di penjara asalkan dikasih 1 triliun saja. Bahkan, salah satu ulama besar tanah air, Kiai Afifuddin Muhajir, di akun fbnya mengunggah sebuah sindiran tajam, “Seorang teman mau dan rela dipenjara dua tahun dengan imbalan uang dua milyar halal.”
Vonis ringan bagi para koruptor membuat publik ingin merasakan nikmatnya jadi koruptor. Bagaimana masyarakat tidak ingin seperti mereka, jika hukumannya lebih mudah dari yang dialami masyarakat kecil, khususnya mereka pekerja migran misalnya. Berpuluh-puluh tahun tahun berpisah dengan keluarga, membanting tulang, hanya bisa meraup puluhan juta. Bandingkan, koruptor hanya 8 tahun, tak usah berkeringat, sudah mengantongi triliunan.
Oleh karena itu, “Tuhan, izinkan aku jadi koruptor” adalah cerminan getir yang dirasakan bangsa ini, bukan permohonan nyata. Siapapun, tak ada yang bercita-cita jadi koruptor dan Tuhan pun tak akan mengizinkan. Namun, dalam dunia yang terbalik ini, korupsi tidak lagi menjadi dosa besar, melainkan profesi yang dihormati di balik topeng kekuasaan. Dengan uang, hukum menjadi lentur, sedangkan suara rakyat diredam dengan janji kosong.
Ironi ini, semakin terasa jika kita mengingat dampak korupsi tersebut. Kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal, hilangnya dana untuk infrastruktur dan pendidikan, serta ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah adalah luka yang sulit sembuh.
Sebenarnya, Negara ini tidak kekurangan aturan atau lembaga untuk memberantas korupsi. Namun, keberanian dan integritas adalah dua elemen yang tampaknya makin langka. Penegakan hukum harus menegaskan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merampas masa depan bangsa.
Hukuman ringan terhadap koruptor seperti Harvey Moeis dan rekan-rekannya dalam kasus timah menciptakan preseden buruk. Tanpa hukuman yang setimpal, pesan yang diterima publik jelas: korupsi bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga “layak dicoba.”
Rakyat telah lelah menyaksikan sandiwara ini. Mereka mendambakan keadilan yang nyata. Membiarkan hukum dan keadilan berlalu lalang begitu saja, jangan salahkan rakyat jika suatu saat mereka benar-benar memohon: “Tuhan, izinkan aku jadi koruptor.” Karena di negeri ini, kejahatan tampaknya lebih menguntungkan daripada kebaikan. Semoga tidak*