Frensia.id – Hari pertama Ramadhan. Semangat masih penuh. Sahur dengan makanan terbaik, lalu bersiap menjalani puasa pertama dengan harapan tinggi. Tapi setelah Subuh, kasur begitu menggoda. Mata berat, tubuh lemas, lalu sebelum sadar, tidur melahap separuh pagi.
Bangun-bangun, sudah Zuhur. Setengah Ramadhan hari ini hanya diisi kantuk dan mimpi.
Sementara di sisi lain dunia, ada orang-orang yang menjalani puasa dengan cara berbeda. Mereka tetap bekerja di bawah terik matahari, menggali tanah, mengangkut barang, atau menjajakan dagangan tanpa keluhan. Ada juga yang tetap belajar, tetap membaca, tetap sibuk berkarya. Yang membedakan? Mungkin doa mereka lebih dalam. Mungkin mereka lebih sadar bahwa puasa bukan sekadar soal menahan lapar, tapi juga soal bangun dari kelalaian.
Doa malam pertama Ramadhan ini mengingatkan kita akan hal itu:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ صِيَامِي فِيْهِ صِيَامَ الصَّائِمِينَ، وَقِيَامِي فِيْهِ قِيَامَ الْقَائِمِينَ، وَنَبِّهْنِي فِيهِ عَنْ نَوْمَةِ الْغَافِلِينَ، وَهَبْ لِي جُرْمِي فِيهِ يَا إِلَهَ الْعَالَمِينَ، وَاعْفُ عَنِّي يَا عَافِياً عَنْ الْمُجْرِمِينَ
“Ya Allah, jadikan puasaku sebagai puasa orang-orang yang benar-benar berpuasa, shalat malamku sebagai shalat malam mereka yang tegak berdiri, dan bangunkan aku dari tidurnya orang-orang yang lalai.”
Kalau doa ini diaminkan dengan sungguh-sungguh, mungkin kita tidak akan membiarkan Ramadhan lewat begitu saja.
Karena ada dua jenis puasa: puasa yang benar-benar ibadah dan puasa yang hanya menahan lapar dan haus. Rasulullah pernah bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lapar dan dahaga.” Jangan-jangan kita ada di barisan ini?
Setiap tahun, Ramadhan datang membawa kesempatan yang sama. Tapi kenapa hasilnya sering berbeda? Ada yang puasanya melahirkan ketenangan, ada yang justru makin emosional. Ada yang makin rajin ibadah, ada yang justru lebih sering tidur. Ada yang benar-benar bertobat, ada yang sudah memesan tiket mudik dengan rencana balas dendam kuliner di kampung halaman.
Puasa orang-orang yang benar-benar berpuasa bukan sekadar soal perut. Ia juga soal hati, pikiran, dan tindakan. Makanya, dalam doa malam pertama itu ada permintaan agar shalat malam kita seperti shalatnya orang-orang yang sungguh-sungguh.
Tapi, mari jujur: berapa banyak dari kita yang benar-benar menikmati shalat malam? Berapa banyak yang datang ke tarawih karena panggilan iman, bukan karena ikut-ikutan? Di awal Ramadhan, masjid penuh sesak. Tapi di tengah bulan, saf mulai renggang.
Lalu kita melanjutkan doa:
“Bangunkan aku dari tidurnya orang-orang yang lalai.”
Lalai bukan cuma soal tidur siang keterusan. Lalai adalah ketika kita menjalani Ramadhan hanya sebagai perubahan jadwal makan. Ketika kita membiarkan waktu-waktu berharga berlalu tanpa ibadah, tanpa refleksi, tanpa usaha untuk menjadi lebih baik.
Ramadhan bukan bulan malas-malasan. Dalam sejarah, justru di bulan ini terjadi peristiwa besar: Perang Badar, pembebasan Makkah, perjuangan para ulama melahirkan pemikiran brilian. Mereka berpuasa, tapi tidak menjadikan puasa sebagai alasan untuk berhenti bergerak.
Di bagian akhir doa, kita memohon, “Ampuni aku, wahai Tuhan semesta alam. Maafkan aku, wahai Yang Maha Pemaaf bagi orang-orang yang berdosa.”
Karena pada akhirnya, kita memang manusia yang penuh kekurangan. Tapi Tuhan selalu membuka pintu ampunan. Pertanyaannya: apakah kita benar-benar ingin berubah?
Ramadhan ini, mari serius. Jangan sampai kita melewatinya seperti tahun-tahun sebelumnya. Jangan biarkan ia berlalu tanpa meninggalkan jejak apa pun dalam jiwa. Jangan biarkan puasa kita kosong.
Tuhan, jangan biarkan aku hanya sekadar berhenti makan dan minum. Bangunkan aku dari kelalaian, agar puasaku bukan sekadar puasa kosong.