Frensia.id- Gus Fawait, selaku bupati Jember merilis sebuah jalur komunikasi bagi masyarakat Jember untuk mengadu dan menyampaikan curahan hatinya terkait apapun yang bisa ditanggulangi oleh pemerintah. Istilah yang digunakan adalah “wadul Guse”.
Ini sejenis perangkat atau alat untuk melipat bumi atau jarak dari 31 kecamatan agar tidak jauh-jauh dengan Pendopo Wahyawibawagraha dari berbagai penjuru barat, timur, selatan, utara atau manapun itu. Bisa pula disebut sebagai wadah untuk menuangkan segala bentuk keluh kesah, gundah gulana, resah, cemas, muak dan sebagainya. Atas segala situasi yang menimpa. Barangkali jika diterawang berdasarkan istilah yang digunakan dan respon yang terjadi, bisa diartikan demikian.
Sebagaimana yang telah diilaunching pada 14 Maret lalu. Secara resmi apa yang dimaksud “wadul Guse”? Bisa dilihat langsung lewat website inspektorat Kabupaten Jember. Pengunjung akan menemukan layout berwarna pink dan foto Gus Fawait sendirian. Secara koherensi perancang web sudah benar, sebagaimana disebut ‘wadul Guse’ yang mempunyai predikat Gus adalah bupati Jember 2025-2030.
Gus Fawait bisa terbilang berani, lewat perangkat pengaduantersebut ia seolah membuka lebar-lebar pintu pendopo agar masyarakat Jember yang total penduduknya lebih dari 1,9 juta bisa masuk semua dengan membawa masalahnya masing-masing. Sekalipun tidak semuanya mempunyai masalah yang harus diselesaikan oleh bupati, bisa diselesaikan sendiri, orang tua, tetangga atau siapapun. Tetapi yang jelas membuka peluang bagi yang ber-KTP Jember. Entah sampai hari ini sudah berapa yang mengadu.
Beberapa waktu yang lalu, seorang tetangga mengadukan tetangganya kepada Gus Fawait. Dikarenakan yang teradu membutuhkan kursi roda. Sesuai dengan visi wadul Guse, yaitu “Untuk Meningkatkan Informasi dan Layanan Pemerintah Kabupaten Jember Sehingga Lebih Efisien Tepat dan Cepat”. Astaga, tetangga yang lain terkaget-kaget saat Dinas Sosial turun langsung, berkunjung membawa sembako. Jadi sesuai, benar-benar cepat.
Karena sudah terbukti, langsung saja membuka keyakinan warga yang lain untuk menyampaikan aduannya berdasarkan apa yang diketahuinya sebagai masalah dan anggapan perlunya seorang Bupati untuk turun tangan.
Dapat diduga masyarakat jelas gembira sekali, karena mereka bisa komunikasi langsung dengan bupati. Bisa menyampaikan masalahnya secara langsung kepada orang nomor satu di kabupaten Jember, sekalipun sebenarnya masalah tersebut bisa diselesaikan di tingkat RT. Melihat kondisi semacam ini, tiba-tiba teringat perkataan salah satu sastrawan legendaris Indonesia, Remy Silado. Ia bilang, “Agaknya orang Indonesia paling gampang sekali melibatkan Tuhan untuk hal-hal yang mestinya bisa diselesaikan Pak RT”.
Sama halnya dengan perkataan Remy, jika bisa mengadu dan berkomunikasi ke tingkatan yang lebih tinggi, seperti ke Bupati maka persoalan di tingkat RT akan langsung diadukan ke Bupati saja dan melupakan pemangku wilayah di daerahnya. Ini karakter menarik warga Indonesia.
Dari ratusan bahkan ribuan wadulan yang telah terkirim ke nomor kontak wadul Guse, entah berapa persoalan yang bisa diselesaikan tingkat RT tetapi disampaikan ke Bupati. Gus Fawait dan admin yang tahu.
Menyoal kebijakan BPJS yang kapan waktu lalu cukup dramatis. Disebut dramatis karena terdapat warga yang tiba-tiba terdaftar dan aktif sebagai peserta PBID. Sehingga girang dan bahagianya bukan main, seolah tertimpa durian runtuh semuanya terjadi secara tiba-tiba. Sebenarnya tidak juga karena yang bersangkutan pastinya sudah terdaftar di DTKS, hanya saja tidak cukup periksa. Ada juga yang sedih beneran tidak sekedar drama, ketika mengetahui tiba-tiba kepesertaan BPJS-nya non-aktif, bukan main bingungnya. Barangkali yang bersangkutan wadul ke Guse tetapi juga mengadu ke kantor desa terkait hal tersebut.
Ada yang tiba-tiba aktif dan tiba-tiba non-aktif tanpa sepengetahuan dan kesadaran yang bersangkutan dan tidak ada pemberitahuan secara resmi, bisa dibilang gejala aneh khususnya bagi yang tidak mengetahui peta tempuh kebijakan ini. Sebagai sebuah masalah, maka satu-satunya jalan adalah wadul ke Guse.
Persoalan yang dihadapi jelas, mengapa ada kebijakan yang secara tiba-tiba, yaitu tiba-tiba aktif dan tiba-tiba non-aktif tanpa ada sosialisasi yang disampaikan ke publik secara umum dan bersifat resmi. Itu masalahnya. Alih-alih ‘wadul Guse’ menjawab berdasarkan konteks tersebut, justru menjawab “cek melalui aplikasi mobile JKN”, sedangkan aplikasi tersebut digunakan untuk melakukan cek kepesertaan, bukan cek kebijakan yang serba tiba-tiba itu.
Begini yang namanya hidup, penuh dengan paradok. Jadi wadul Guse sebagai sebuah sistem, alat atau perangkat untuk melipat bumi sehingga bisa lebih dekat dengan Gus Bupati untuk mengadukan permasalahan, maka perlu disadari sebagai sistem untuk menerima pengaduan ternyata butuh diadukan pula, karena kegagalannya untuk fokus sehingga membatalkan kemampuannya untuk paham. Perlu dimaklumi dan diduga secara baik (husnudzon) barangkali kotak pengaduan sedang banyak-banyaknya. Selain itu hidup ini ternyata bukan hanya sekedar paradoks saja, tetapi juga proses, dari kuantitatif menuju kualitatif. Sudah bisa diterka kualitas apa yang dimaksud?
Ijtihad yang dilakukan oleh Gus Fawait untuk membuka akses bagi masyarakat dengan cara memfasilitasi keakraban dengan bupatinya akan memudahkan jalan agar Jember bisa segera menjadi Maju dan Baru (sebagaimana slogan yang digunakan). Hemat kami, yang maju akan ditemukan bentuknya setelah ada hal-hal baru. Sedangkan hal-hal yang usang berupa sebuah problematika jika masih bertengger dan melekat pada denyut nadi masyarakat. Bisa diperbarui setelah diselesaikan, diutarakan dan ditemukan pemecahan masalahnya. Tetapi itu bergantung pada kemampuan untuk mengurai benang kusut dan memahami jenis benangnya dari berbagai aspek. Kemampuan yang dimaksud adalah dalam kapasitas dan tingkatan kabupaten bukan tingkatan RT, karena harus menampung masalah dari 1,9 juta lebih warga, bukan hanya belasan atau puluhan rumah saja.