Frensia.id – Dulu, kita diajari bahwa wakil rakyat itu orang-orang pilihan, mereka yang dipercaya membawa suara kita ke gedung parlemen. Sekarang, semakin sulit membedakan apakah mereka memang wakil rakyat atau wakil partai—atau bahkan wakil kepentingan pribadi. Mereka masuk ke gedung itu dengan janji manis, lalu duduk nyaman dengan fasilitas mewah, sementara rakyat tetap berkutat dengan harga beras yang naik turun lebih cepat dari harapan.
Negeri ini memang semakin unik. Demokrasi berjalan, tapi keputusan penting sering diambil tanpa benar-benar mendengarkan rakyat. Undang-undang bisa disahkan dalam hitungan malam kalau menguntungkan segelintir orang, tapi urusan yang menyangkut hidup rakyat bisa berdebu bertahun-tahun tanpa kejelasan. Suka-suka mereka.
Lihat saja bagaimana wakil rakyat menjalankan tugasnya. Saat kampanye, mereka mendadak akrab dengan pasar, mencium tangan emak-emak, menepuk pundak tukang ojek, dan menebar senyum lebih murah dari janji yang mereka ucapkan. Tapi, begitu duduk di kursi empuk parlemen, rakyat yang dulu dielu-elukan hanya menjadi angka dalam statistik. Setiap lima tahun, rakyat diberi peran: pemilih. Setelah itu, mereka kembali menjadi penonton.
Kita sering mendengar istilah “wakil rakyat” tapi semakin hari terasa seperti “wakil partai” atau bahkan “wakil kepentingan modal”. Keputusan-keputusan politik yang diambil lebih sering berpihak kepada elite dibanding rakyat jelata. RUU yang memudahkan bisnis oligarki bisa mulus melenggang, tapi regulasi yang bisa meringankan beban hidup rakyat kecil tersendat tanpa alasan.
Lucunya, saat rakyat mengkritik, mereka yang duduk di kursi kekuasaan sering kali tersinggung. Ada yang bilang rakyat tidak tahu apa-apa, ada yang mengancam dengan UU, ada pula yang malah sibuk membela diri dengan kalimat klise: “Kami sudah bekerja untuk rakyat.” Bekerja untuk rakyat yang mana? Rakyat yang antre BLT, rakyat yang ditindih utang, atau rakyat yang harus membayar pajak untuk gaji mereka?
Ironi ini makin terasa ketika melihat bagaimana hukum dan kebijakan bisa diubah sesuka hati. Pajak bisa dinaikkan mendadak, subsidi bisa dicabut sepihak, tapi giliran rakyat meminta kebijakan pro mereka, jawabannya adalah “masih dalam kajian.” Kajian yang entah kapan rampungnya. Suka-suka mereka.
Tapi, kalau mau jujur, keadaan ini juga karena kita yang membiarkannya. Kita memilih tanpa benar-benar mengenal siapa yang kita pilih. Kita memilih karena baliho besar, bukan karena rekam jejak. Kita memilih berdasarkan popularitas, bukan integritas. Maka, jangan heran kalau akhirnya kita hanya bisa mengeluh, sementara mereka tetap menikmati hidup di lingkaran kekuasaan.
Negeri suka-suka ini bisa berubah kalau rakyatnya juga berhenti bersikap suka-suka dalam memilih. Kalau kita mau sedikit berpikir panjang, melihat siapa yang benar-benar peduli dan siapa yang hanya mencari kesempatan. Karena kalau tidak, lima tahun lagi, kita akan mengeluh tentang hal yang sama.
Dan mereka? Mereka akan tetap duduk nyaman, menikmati fasilitas, dan dengan senyum kecil berkata: “Suka-suka kami.”
Sementara itu, rakyat hanya bisa menatap, mengeluh tanpa daya, atau pasrah dalam kebisuan. Begitulah ‘Wakil Rakyat dan Negara Suka-suka’ bekerja—bukan untuk melayani rakyat, melainkan suka-suka mereka.