Frensia.id- Tujuan daripada bekerja tidak lain adalah mendapat keuntungan. Berbeda pekerjaan, berbeda pula cara memperoleh dan hasil yanng dicapai. Selain itu berbeda pula watak yang terbentuk dalam melihat keuntungan.
Secara sosiologis, seorang petani akan bersabar menunggu dalam tempo yang relatif lama. Butuh kesabaran, keuletan dan ketahanan menghadapi segala rintang yang menghadang dalam kondisi keuntungan belum terlihat. Seorang petani secara batin lebih mengaktifkan prinsip, nrimo ing pandum.
Jika sedang menanam tembakau atau jagung, tiba-tiba turun hujan. Mereka akan menggerutu, tetapi sekedar dari mulut saja. Hatinya terhampar keikhlasan atas takdir kehidupan. Tidak sampai membekas, tergores sebagai luka dalam hati atas kekecewaan yang terjadi. Itu petani.
Beda lagi dengan pedagang. Falsafah yang dijadikan pegangan oleh pedagang adalah bagaimana modal sedikit mampu menghasilkan keuntungan sebesar mungkin. Mereka akan teliti terhadap persoalan-persoalan kecil. Sekecil apapun timbangan akan menjadi perhitungan.
Sebab bagi mereka, jika hal kecil dibiarkan sekarang toh itu nanti akan dikalikan. Semisal, jika hari ini kehilangan satu butir beras bagaimana kalau satu tahun, dua tahun dan seterusnya. Akhirnya sedikit menjadi bukit. Logikanya seperti itu.
Seorang pedagang adalah mereka yang lihai dalam negosiasi. Mencari celah untuk memperoleh jalan keluar keuntungan. Jarang didapati seorang pedagang banyak mengangguk. Lebih banyak, mereka akan mengangguk dan menggeleng sesuai alur yang menuju kepada laba yang dikehendaki. Karena pada intinya dari segala gelagat adalah laba dan laba.
Pedagang mempunyai kosa kata baku yang unik untuk menunjukkan ukuran keuntungan. Dan tidak dimiliki oleh petani. Kecuali kalau petani yang berprinsip layaknya pedagang, tetapi jarang.
Berikut beberapa istilah yang bisa ditemukan dalam bahasa sehari-hari dan digunakan manakala sebuah kondisi menimpa.
Pertama, rugi, kondisi ini terjadi manakala modal kembali modal. Seperti membeli ketela pohong kepada petani untuk dijual ke pasar. Modalnya 50.000 laku terjual dengan harga yang sama. Itu rugi namanya. Karena yang terbayar hanya barangnya saja. Tenaga dan waktu masih tidak terlunasi.
Kedua, ngayah, kondisi ini terjadi ketika modal telah kembali dan ada sisa lebih dari harga yang digunakan untuk membeli modal, tetapi hanya cukup untuk membayar tenaga dan waktu yang digunakan. Jika beli pisang seharga 25.000 terjual seharga 40.000. ada stand sebesar 15.000, dimana uang tersebut terhitung hanya untuk ongkos bensin dan waktu yang digunakan mulai dari membeli, menunggu hingga terjual. Bagi seorang pedagang bukan modal saja yang terhitung sebagai uang tetapi tenaga dan waktu harus diuangkan.
Ketiga, ngumpulne duwek cilik, kondisi beruntung dalam jual-beli tetapi keuntungan ditaksir seratus persen dari modal. Semisal, modal 50.000 terjual 100.000. itu sudah bisa dikatakan beruntung karena melebihi modal, biaya tenaga dan waktu. Ketika dikalkulasi dengan menghitung seluruh modal dasar yang dibutuhkan tersisa sedikit saja. Untung yang sedikit itulah dinamai duwek cilik.
Keempat, untung, tingkat keempat inilah yang disebut oleh pedagang benar-benar untung. Yaitu ketika keuntungan dalam ukuran bukan duwek cilik lagi. Setidaknya diatas seratus persen atau tersisa banyak setelah dipotong modal, tenaga dan waktu.
Bagi pedagang, pekerjaan yang digelutinya tidak main-main. Kalau mencari untung ya harus dapat untung. Tidak mencari hikmah, pelajaran kehidupan atau agar tidak nganggur. Secara mayoritas pedagang akan berpegang pada kaidah, semakin rajin dalam bekerja maka akan semakin banyak pundi-pundi rupiah yang didapatkan. Secara hukum alam benar.