Frensia.id – Kasus tragis yang menimpa Nia Kurnia Sari, gadis penjual gorengan berusia 18 tahun dari Padang Pariaman, Sumatera Barat, menjadi perhatian masyarakat. Kehidupan Nia, seharusnya diisi dengan senyuman, penuh harapan dan cita-cita. Namun, semua itu sirna dengan cara yang amat tragis dan memilukan.
Berdasarkan berita dari Tempo.co (13/09/2024), Nia dikabarkan hilang sejak Jumat, 6 September 2024, saat sedang berjualan gorengan. Setelah tiga hari pencarian, pada Minggu, 8 September 2024, jasadnya ditemukan terkubur dalam gundukan tanah tanpa busana. Ditemui di sebuah lahan perkebunan, Korong Pasa Gelombang, Negari Kayu Tanam, Kecamatan 2×11 Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman.
Jasad Nia ditemukan dalam kondisi mengenaskan tanpa busana. Sementara barang-barang miliknya seperti jilbab, kain sarung dan tempat gorengan berserakan di sekitar lokasi penemuan. Kejadian ini menambah pilu tragedi yang menimpa gadis ini. Keseharian Nia yang berjuang membantu perekonomian keluargannya, harus mangalami nasib menyedihkan yang tidak seharusnya menimpa siapa pun.
Tanah air ini masih dihadapkan pada realitas pahit mengenai kaum marjinal yang rentan dengan tindak kekerasan. Nia bukan hanya seorang anak pekerja keras demi membantu ekonomi keluarganya, tetapi ia juga gadis yang harus menghadapi akhir hidupnya yang ia tidak inginkan. Kasus ini menandaskan perlunya perhatian serius dari pemerintah atau pihak yang berwenang dalam melindungi warga negara yang rentan.
Kapolres Padang Pariaman, AKBP Faisol Amir, seperti dilansir Tempo.co mengabarkan bahwa polisi masih menyelidiki motif pembunuhan ini. Sementara itu, barang-barang milik Nia yang ditemukan di lokasi sudah diidentifikasi, dan autopsi dilakukan untuk mencari petunjuk lebih lanjut.
Lebih dari itu, masyarakat — khususnya keluarga Nia– tidak hanya menunggu penjelasan dari pihak kepolisian. Namun, juga tindakan tegas dan segera mengungkap dalang pelaku yang harus bertanggungjawab dibalik kematian Nia.
Ibu Korban, yang juga kesehariannya berjualan gorengan, masih sangat terpukul oleh kepergian buah hati tercintanya. Saat ditemui di rumah duka, Selasa, 10 September 2024, ia mengatakan dengan penuh kesedihan “Kami belum bisa mengikhlaskan kepergian Nia. Kami minta pelaku dihukum seberat-beratnya, kalau bisa hukuman mati”. Ujarnya, seperti dilansir dari Kumparan.
Negara harus hadir sepenuhnya menuntaskan kasus pilu semacam ini. Penegakan hukum yang tegas adalah jalan satu-satunya memberikan rasa aman bagi masyarakat, khusunya masyarakat yang rentan. Pelaku kejahatan tak berprikemanusiaan ini, harus dijatuhkan hukum seberat-beratnya. Termasuk hukuman mati, pantas di pertimbangkan seperti permintaan ibu kandung Nia.
Ini bukan soal balas dendam, tetapi tentang keadilan. Jauh dari pada itu, agar tidak ada lagi tragedi serupa yang terulang di kemudian hari. Membiarkan kasus ini tidak ditangani dengan serius, selain keadilan yang sirna, secara tidak langsung membiarkan kekerasan yang sama tumbuh subur.
Kehidupan Nia yang sudah penuh perjuangan, kini berakhir dengan duka yang mendalam bagi keluarganya. Pihak keluarga tidak hanya berduka atas kehilangan putrinya, tetapi juga menghadapi ketidakpastian penegakan hukum, jika kasus ini tidak diatasi dengan serius.
Keluarga Nia sedang berada dalam suasana duka yang mendalam, pasalnya selain kehilangan anak tercinta, juga karena kehidupan yang sulit kini semakin tertekan oleh tragedi pilu yang melanda mereka. Bagaimana mungkin keluarga duka bisa merasa tenang dan mendapatkan keadilan, jika kasus ini tidak segera mendapatkan titik terang?
Masyarakat dan keluarga duka saat ini menuntut keadilan untuk Nia. Keadilan nyata! tanpa belas kasih. Kejahatan yang menimpa Nia tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa jeratan hukum yang pantas.
Hukuman mati mungkin terdengar ekstrem bagi sebagian orang, dianggap melanggar Ham. Namun, jangan lupa dalam kasus yang begitu brutal seperti yang dialami Nia, keadilan harus ditegakkan tanpa belas kasihan mengatasnamakan HAM. Nia telah tiada, tetapi keadilan baginya tidak boleh hilang bersama kematiannya.*
*Moh. Wasik