Sifat Allah Menurut Imam Al-Asy’ary

Jumat, 25 Oktober 2024 - 11:11 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sifat Allah menurut Imam Al-Asy'ary

Sifat Allah menurut Imam Al-Asy'ary

Frensia.id- Imam Al-Asy’ari lahir pada tahun 260 H/873 M. sejak kecil beliau adalah seorang penganut ahlussunnah wal jama’ah, ia berguru kepada seorang ahli fiqh dan hadits yang bermazhab Syafi’i, al-Imam Al-Hafizh As-Saji.

Lantas kemudian setelah berusia 10 tahun ia beralih haluan dengan mengikuti faham Mu’tazilah dibawah pengaruh Abu Ali al-Juba’i salah seorang tokoh Mu’tazilah di Bashrah yang menjadi ayah tirinya.

Mu’tazilah menjadi aliran yang ia pegang selama usianya 40 tahun. Beliau merupakan seorang yang cerdas, kerap kali ia mewakili Al-Juba’i dalam berbagai forum keilmuan dan diskusi.

Tetapi kemudian ia menemukan jalannya sendiri untuk melepas faham yang telah ia jalani selama 30 tahun tersebut. Imam Al-Asy’ary membangun metode kalamnya sendiri yang berseberangan dengan Mu’tazilah dan dikenal dengan aliran Al-Asy’ariah.

Salah satu pendapatnya adalah berkaitan dengan sifat Allah. Mu’tazilah menetapkan tauhid sebagai salah satu dari ajaran pokok yang termuat dalam ushul al-khomsah. 

Konsep tauhid menurut Mu’tazilah mencoba membangun karakteristiknya dengan mengesakan Allah dan tidak menyerupakan dengan makhluk. Salah satu caranya adalah dengan nafyu al-shifat. 

Menurut Mu’tazilah Allah tidaklah mempunyai sifat yang melekat pada dzatnya. Sebab apabila Allah mempunyai sifat maka yang qadim akan berjumlah banyak (taaddud al-qudama’), yaitu dzat dan sifat. Sedangkan untuk mengesakan Allah mereka memilih dengan cara meniadakan sifat.

Baca Juga :  Tuhan, Maaf Puasaku Masih Egois

Mu’tazilah merupakan sekte dalam Islam yang lebih mengedepankan akal. Apabila terjadi pertentangan antara akal dan wahyu maka mereka akan memilih akal sebagai titik pijakannya.

Seperti halnya dalam pembahasan tauhid, Mu’tazilah berpedoman kepada akal dengan mengesampingkan adanya sifat Allah sebagaimana tersebut didalam wahyu.

Perlu disampaikan bahwa yang dimaksud dengan nafy al-shifat disini bukan berarti Mu’tazilah menolak gambaran dari sifat-sifat Allah seperti Ar-rohman, Ar-rohim, As-salam, Al-Qadir dan sebagainya sebagaimana tersebut didalam Al-Qur’an.

Melainkan bermaksud bahwa, seperti yang diutarakan ole Washil bin Atha’, sifat tersebut tidak lah berdiri sendiri diluar dzat Tuhan atau berlainan dengan dzat atau esensi Tuhan, tetapi sifat itu merupakan dzat Tuhan itu sendiri.

Sehingga Allah mengetahui, mengasihi, menyayangi, menguasai dengan dzatnya (Allah alimun wa ilmuhu dzatuhu). Pendapat ini tidaklah berhenti sampai disini, para tokoh-tokoh Mu’tazilah seperti Abu Huzail Al-Allaf, Al-Juba’i mengkaji ulang dan memberikan tambahan terhadap konsep tersebut.

Tampaknya pendapat tersebut benar, menurut pendapat Imam Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari. Pendapat Mu’tazilah tersebut adalah bentuk kekhawatiran mereka akan kemusyrikan dengan adanya dua yang qadim, dzat dan sifat.

Baca Juga :  Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran

Sehingga mereka berkesimpulan bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang berdiri sendiri atau diluar dirinya, melainkan sifat itu adalah dzat Tuhan sendiri.

Bagi Al-Asy’ari tidak mungkin Tuhan mengetahui, menyayangi, mengasihi dan sebaginya dengan dzatnya. Sebab jika begitu maka dapat disebut bahwa dzatnya adalah pengetahuan, kasih sayang, kekuasaan dan Tuhan adalah pengetahuan.

Padahal Tuhan tidak bisa disebut begitu, melainkan Tuhan adalah yang maha mengetahui, maha mengusai dan sebagainya.

Setelah menetapkan adanya sifat Tuhan, Al-Asy’ari menjawab kegelisahan Mu’tazilah apakah sifat dan dzat juga sama-sama kekal.

Jika iya, maka berarti ada lebih dari satu yang kekal. Untuk hal ini Al-Ays’ari menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sifat adalah sesuatu yang berdiri sendiri sebagai suatu tambahan atas dzat tetapi bukan dzat itu sendiri dan juga bukan selainnya dzat.

Dapat dijelaskan bahwa sifat Allah itu berbeda dengan dzatnya, berdiri sendiri dan bukan dzat dan juga bukan selainnya, dalam arti sifat selalu melekat pada dzat tidak mungkin terpisah. Menurut Imam Al-Asy’ari sesuatu yang ada jelas mustahil jika tanpa sifat. Oleh karena itu, pandangan ini menunjukkan bahwa yang kekal tidaklah berjumlah banyak dikarenakan antara sifat dan dzat.

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Setelah Ramadhan, Apa Kabar Ibadah Kita?
Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran
Dari Mustahik ke Miliarder Kecil, Riset Berikut Ungkap Rahasia Program Zakat di Malaysia yang Sukses Raih RM12.000 per Bulan
Manifesto Zakat: Cinta, Kemanusiaan, dan Keadilan
Mereguk Sahur, Meneguk Cahaya Ramadhan
Ramadhan dan Kita yang Sibuk Sendiri
Sekolah Tiga Bahasa Rukun Harapan Jember: Jodoh Perjuangan Gus Dur dengan Pendiri Yayasan
Bikin Haru, Jawaban Nyai Sinta Ketika Ditanya Tentang Kebiasaan Buka Puasa Gus Dur

Baca Lainnya

Rabu, 9 April 2025 - 07:16 WIB

Setelah Ramadhan, Apa Kabar Ibadah Kita?

Selasa, 1 April 2025 - 08:23 WIB

Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran

Kamis, 27 Maret 2025 - 21:23 WIB

Dari Mustahik ke Miliarder Kecil, Riset Berikut Ungkap Rahasia Program Zakat di Malaysia yang Sukses Raih RM12.000 per Bulan

Selasa, 25 Maret 2025 - 15:26 WIB

Manifesto Zakat: Cinta, Kemanusiaan, dan Keadilan

Selasa, 18 Maret 2025 - 18:52 WIB

Mereguk Sahur, Meneguk Cahaya Ramadhan

TERBARU

Gambar Gaya Komunikasi Gibran, Dikaji Sejumlah Peneliti (Sumber: Frensia Grafis)

Politia

Gaya Komunikasi Gibran, Dikaji Sejumlah Peneliti

Minggu, 20 Apr 2025 - 13:58 WIB