Karena Gus Dur, Peneliti Inggris Sebut Demokrasi Indonesia Bangkit, Tapi Militerisme Belum Terkalahkan

Senin, 30 Desember 2024 - 17:10 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gambar Karena Gus Dur, Peneliti Inggris Sebut Demokrasi Indonesia Bangkit, Tapi Militerisme Belum Terkalahkan (Sumber: Frensia Grafis)

Gambar Karena Gus Dur, Peneliti Inggris Sebut Demokrasi Indonesia Bangkit, Tapi Militerisme Belum Terkalahkan (Sumber: Frensia Grafis)

Frensia.id Peneliti dari Department of International History London School of Economics and Political Science (LSE), Inggris, Kirsten E. Schulze, menyebut KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai salah satu tokoh kunci kebangkitan demokrasi di Indonesia pasca-Orde Baru.

Namun, dalam risetnya yang diterbitkan dalam Studies in Conflict & Terrorism tahun 2001, Schulze menegaskan bahwa warisan militerisme di Indonesia tetap menjadi tantangan besar yang belum sepenuhnya teratasi.

Dalam analisis Schulze, perubahan besar pada akhir 1990-an, termasuk krisis ekonomi Asia 1997, gerakan reformasi rakyat, dan jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998, menciptakan momentum untuk demokrasi. Namun, proses ini juga memunculkan dinamika yang kompleks, termasuk tantangan terhadap peran militer dalam masyarakat dan integritas teritorial Indonesia.

Setelah jatuhnya Soeharto, B.J. Habibie menggantikannya sebagai presiden, namun pemerintahannya mengalami pukulan besar ketika Timor Timur memilih merdeka dalam referendum Agustus 1999.

Habibie kemudian gagal mempertahankan jabatan presiden dalam Pemilu Oktober 1999, membuka jalan bagi terpilihnya Gus Dur, seorang tokoh yang dikenal moderat dan reformis.

Schulze mencatat langkah-langkah signifikan yang diambil Gus Dur untuk memperkuat demokrasi, seperti mengangkat menteri pertahanan sipil pertama dalam sejarah Indonesia dan mengakhiri jatah kursi militer di DPR.

Baca Juga :  Sedot Air Muara Sungai Tanpa Ijin, DPRD Tinjau Dua Tambak di Pantai Payangan Jember

Upaya ini dipandang sebagai tonggak penting dalam transisi demokrasi, yang juga didorong oleh tekanan internasional dan keterlibatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akibat krisis di Timor Timur.

Namun, Schulze mengingatkan bahwa reformasi di bawah Gus Dur tidak serta-merta melemahkan peran militer atau membangun budaya politik yang benar-benar pluralis. Ia menyoroti bagaimana pola kekerasan dalam konflik di Maluku pada periode yang sama menunjukkan keberlanjutan agenda-agenda militer yang tidak sepenuhnya terungkap.

Referendum di Timor Timur dan pola kekerasan yang menyertainya mengungkap bahwa reformasi Gus Dur hanya mampu menutupi ketegangan yang lebih dalam.

“Pemerintahan Gus Dur, dalam pengertian itu, hanyalah perombakan konsensus baru,” tulis Schulze.

Ia bahkan mengemukakan argumen kontroversial bahwa kehilangan Timor Timur bisa jadi adalah strategi untuk mempertahankan peran militer dalam struktur masyarakat Indonesia, sebuah konsensus baru yang hanya mengalami perombakan kosmetik di era Gus Dur.

Bagi Schulze, warisan militerisme tidak hanya mencakup keberadaan fisik tentara, tetapi juga budaya politik yang diwariskan sejak era Orde Baru. Dalam hal ini, reformasi yang diperkenalkan Gus Dur dianggap sebagai langkah awal, tetapi belum mampu sepenuhnya menantang akar militerisme yang tertanam dalam institusi negara dan budaya politik Indonesia.

Baca Juga :  Demi Memajukan Banyuwangi Bersama, Bupati Ipuk Temui Ikawangi Pusat

Meskipun demikian, kontribusi Gus Dur terhadap demokrasi tetap signifikan. Ia menjadi simbol penting dalam transisi menuju pemerintahan sipil yang lebih inklusif, sekaligus menandai perubahan besar dalam hubungan antara sipil dan militer. Namun, seperti yang dicatat Schulze, transisi ini masih jauh dari kata selesai.

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia pasca-Soeharto, meskipun telah mengalami kebangkitan, masih menghadapi tantangan besar dalam mengatasi jejak panjang militerisme.

Gus Dur, dengan segala upayanya, memberikan pijakan awal yang kuat, namun butuh keberlanjutan dari kepemimpinan politik berikutnya untuk benar-benar membangun demokrasi yang kokoh dan pluralis.

Penelitian Schulze menjadi pengingat bahwa demokrasi tidak hanya soal mengubah institusi, tetapi juga soal mengubah budaya politik dan hubungan kekuasaan di dalam masyarakat. Dengan demikian, Indonesia masih memiliki perjalanan panjang dalam memperkuat demokrasinya di tengah bayang-bayang warisan militerisme.

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Peringati Hari Pancasila, DPC PDIP Jember Gelar Upacara
Sambutan Menteri Agama Di Pelantikan PPPK, Berharap Ada Kesadaran Eko-Teologi Bersama
Dalam Pelantikan PPPK Kemenag, Ketua Umum Korpri Ingatkan Konflik India-Pakistan
Konkoorcab PMII Jatim, Sahabat Lisa jadi Calon Pertama yang Mendaftar Ketua KOPRI
Tanggapan Pengamat Bisnis dan UMKM Soal Rencana Street Food Pemkab Jember
Pemkab Jember Resmi Gratiskan Parkir Jalan Wewenang Dishub.
Diduga Adanya Penyelewengan Dana Pokir, Aktivis Anti Korupsi Situbondo Desak KPK Turun
Driver Ojol Demo dengan Delapan Tuntutan, Pemkab Jember akan Segera Penuhi Tuntutan Lokal

Baca Lainnya

Senin, 2 Juni 2025 - 07:00 WIB

Peringati Hari Pancasila, DPC PDIP Jember Gelar Upacara

Senin, 26 Mei 2025 - 21:30 WIB

Sambutan Menteri Agama Di Pelantikan PPPK, Berharap Ada Kesadaran Eko-Teologi Bersama

Senin, 26 Mei 2025 - 21:07 WIB

Dalam Pelantikan PPPK Kemenag, Ketua Umum Korpri Ingatkan Konflik India-Pakistan

Senin, 26 Mei 2025 - 17:04 WIB

Konkoorcab PMII Jatim, Sahabat Lisa jadi Calon Pertama yang Mendaftar Ketua KOPRI

Sabtu, 24 Mei 2025 - 12:11 WIB

Tanggapan Pengamat Bisnis dan UMKM Soal Rencana Street Food Pemkab Jember

TERBARU

Religia

Menyelami Makna Dialog  Nabi Ibrahim dan Ismail

Jumat, 6 Jun 2025 - 18:20 WIB