Frensia.id- Mangir adalah naskah drama yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tiga babak. Tidak sekedar bercerita mengenai dinamika politik raja Jawa, yakni Panembahan Senopati. Melainkan juga mengungkap bobroknya moral akibat hasrat yang berlebihan dalam berkuasa.
Sebagai bagian sejarah Jawa, tragedi yang terjadi dalam pusaran Kerajaan Mataram ini, baru ditulis seratus lima puluh sampai dua ratus tahun setelah kejadian. Hal ini tidak lain disebabkan kehati-hatian dalam menuliskan sebuah peristiwa saat dinasti yang terkait masih berkuasa.
Pram, sebagaimana akrab dipanggil, dalam masa pengasingannya di pulau Buru ia sempatkan untuk menulis sebuah naskah drama ini, berkisah mengenai sosok pemuda kharismatik bernama ki Ageng Mangir Wanabaya.
Ia merupakan pimpinan desa yang namanya di sematkan kepada dirinya, Desa Mangir, 20 KM dari kerajaan Mataram. Popularitas Ki Ageng Mangir terdengar sampai di telinga raja Mataram, Panembahan Senopati.
Sebagai sosok yang mempunyai predikat baik dan elektabilitas tinggi, Ki Ageng Mangir dianggap berpotensi untuk menjadi matahari kedua di tanah Jawa. Atas dasar rasa iri dan cemas bila suatu saat tahtanya direbut atau hilang, maka Panempahan Senopati, melakukan tindakan-tindakan yang ia maksudkan untuk menenggelamkan sosok yang berpotensi menjadi saingannya tersebut.
Salah satu tipu muslihat yang dilancarkan oleh Panembahan Senopati adalah dengan mengirimkan putrinya, yang bernama Retno Pembayun ke desa Mangir. Dimaksudkan sebagai tipu muslihat untuk melakukan manipulasi terhadap Ki Ageng Mangir.
Diluar rencana yang telah dipersiapkan, ternyata sang putri benar-benar jatuh hati kepada pemuda yang menjadi rival ayahnya tersebut.
Selanjutnya mereka berdua menikah dan menjadi pasangan suami istri, sedangkan Ki Ageng Mangir berstatus sebagai menantu Raja Mataram yang sah.
Meskipun demikian, bukan berarti ambisi Panembahan Senopati telah sirna, untuk membinasakan pemuda yang ia anggap sebagai ancaman ini.
Sampai suatu hari, raja Jawa yang dulu merupakan anak angkat dari Sultan Pajang Hadiwijaya ini mengundang pasangan ini ke Istana Mataram. Sampai kemudian acara yang dianggap berbalut harmoni sebagai keluarga justru merupakan tipuan licik untuk melancarkan sebuah ambisi.
Akhirnya terjadi lah sebuah tragedi, Ki Ageng Mangir dijebak dan dihukum mati, selesai lah rangkaian kecemasan Raja Mataram dengan terbunuhnya sang menantu yang ia anggap sendiri sebagai ancaman.
Dalam lakon yang dituliskan ini, penulis tetralogi pulau Buru ini mengambil jarak dari aspek-aspek mistis sebagaimana yang populer di lingkungan kerajaan Jawa. Seluruh tokoh ditampilkan sebagai manusia biasa, yang tidak pernah menunjukkan aneka kesaktian di luar nalar.
Ki Ageng Mangir Wanabaya tidak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh utama dalam karangan Pram, adalah meraka yang selalu kalah dalam kemelut sebuah tragedi.
Sekalipun sosok Ki Ageng Mangir adalah nyata, akan tetapi Pram sengaja memilih sosok yang memang-memang kalah.
Dalam cerita ini, Pram sekali lagi berhasil menelanjangi ganasnya kekuasaan ketika mengambil perannya dalam konteks sosial-politik. Agar kursi singgasanannya tidak beralih atau bergeser, maka mereka yang mempunyai kendali berkuasa tidak segan-segan untuk menghalalkan segala cara termasuk dengan memberi umpan putri kandung sendiri.