Frensia.id – Belakangan ini, isu pertambangan kembali memantik obrolan hangat, terutama setelah muncul wacana kampus meminta jatah menambang. Bukan cuma perusahaan besar yang ingin menikmati hasil bumi, tapi juga institusi pendidikan yang katanya berpihak pada ilmu pengetahuan. Wajar kalau reaksi publik terbelah.
Ada yang menganggap tambang sebagai berkah ekonomi, tapi tak sedikit yang mencemaskan dampaknya bagi lingkungan dan ketimpangan sosial. Lalu, kalau kita menengok ke belakang, bagaimana sebenarnya Islam memandang tambang? Apakah Nabi, sahabat dan genarasi ulama anti tambang?
Dalam riset Historical Development: Kepemilikan dan Pengelolaan Tambang di Masa Nabi Muhammad SAW oleh Syifani Ikrimahtul Lestari, disebutkan bahwa Nabi sendiri tidak menolak pertambangan. Bahkan, beliau pernah melakukan aktivitas pertambangan, tetapi tidak serampangan. Prinsip utamanya jelas: tambang bukan sekadar sumber kekayaan, melainkan bagian dari kepemilikan umum yang harus dikelola dengan adil.
Salah satu hadis menyebutkan bahwa manusia memiliki hak atas tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi), yang mencakup sumber daya tambang. Nabi memastikan bahwa hasil tambang digunakan untuk kepentingan umat, bukan segelintir orang saja. Kasus Bilal bin Rabah yang diberikan kepemilikan tambang garam, tetapi dilarang menjualnya, menunjukkan bahwa Islam sudah sejak awal mengantisipasi kemungkinan akumulasi kekayaan yang bisa merugikan masyarakat.
Lalu, bagaimana pandangan hukum Islam secara lebih luas? Dalam riset Pengelolaan Barang Tambang dalam Hukum Islam dan Hukum Positif, Anwar Habibi Siregar mengutip pandangan mazhab Malikiyah yang menegaskan bahwa barang tambang adalah milik umum. Tak seorang pun boleh menguasainya secara pribadi, bahkan meski mereka yang menemukannya.
Pendapat ini senada dengan Ibnu Qudamah yang menyatakan bahwa barang tambang seperti garam, air, dan minyak bumi tidak boleh dimiliki oleh individu sehingga orang lain terhalang untuk mendapatkannya. Negara, sebagai wakil rakyat, harus mengelola tambang demi kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan segelintir orang atau perusahaan.
Lantas, haruskah kita anti tambang? Tidak juga. Tambang adalah kebutuhan, baik untuk energi, industri, maupun pembangunan. Islam tidak melarang eksploitasi sumber daya, tetapi memberi batasan agar tidak merusak lingkungan atau menciptakan ketimpangan sosial. Yang jadi masalah bukan tambangnya, melainkan siapa yang mengelola dan bagaimana cara mengelolanya. Jika prinsip keadilan dan kemaslahatan umat diabaikan, maka tambang bukan lagi berkah, melainkan bencana.
Bagaimana dengan dunia pertambangan di Indonesia? Sudahkah dikelola dengan cara-cara Nabi dan dalam koridor kemaslahatan serta keadilan? Jika belum, kritik yang muncul bukan berarti anti tambang, melainkan anti terhadap pengelolaan tambang yang tidak adil. Kritik ini penting sebagai pengingat untuk meluruskan bagaimana dan untuk apa tambang itu diciptakan.
Maka, alih-alih bertanya “Haruskah kita anti tambang?”, mungkin pertanyaannya lebih tepat: “Bagaimana agar tambang tidak jadi kutukan?”. Islam sudah memberi pedoman: tambang harus dikelola dengan adil, berpihak pada masyarakat, dan tidak merusak lingkungan. Yang jadi masalah, apakah kita—atau lebih tepatnya, mereka yang berkuasa—benar-benar mau mengikuti pedoman itu?