Frensia.Id – Ramadhan mengajarkan banyak hal, terutama soal kesabaran. Orang yang puasa tahu bahwa selepas adzan maghrib, ia boleh berbuka. Ada kepastian, ada jadwal yang jelas untuk menikmati hasil perjuangannya. Tapi di negeri ini, ada satu hal yang sering kali tak punya jadwal pasti: kebijakan pemerintah. Salah satunya, penundaan pengangkatan CASN.
Kemen PAN-RB baru saja mengumumkan bahwa pengangkatan CASN yang seharusnya dilakukan pada Februari-Maret 2025 ditunda hingga akhir tahun. Alasannya macam-macam—dari harmonisasi kebijakan hingga penyesuaian dengan rencana jangka panjang. Bagi birokrasi, ini mungkin sekadar perubahan jadwal. Tapi bagi mereka yang sudah lulus seleksi, ini bukan perkara administrasi semata. Ini soal kepastian hidup.
Saya jadi ingat satu kisah di kampung. Seorang teman bertanya kepada kyai kampung, “Ustad, lebih berat mana, puasa Ramadhan atau menunggu jodoh?” Sang ustad tertawa, lalu menjawab, “Kalau puasa, kita tahu kapan berbuka. Kalau menunggu jodoh, itu urusan Tuhan.” Nah, dalam kasus ini, menunggu pengangkatan CASN lebih mirip menunggu jodoh—tak ada kepastian, kecuali dari mulut pejabat yang sering berubah-ubah.
Ramadhan bukan hanya bulan puasa, tapi juga bulan keadilan sosial. Di bulan ini, umat Islam diwajibkan membayar zakat, mengingat hak-hak mereka yang kurang mampu. Lalu, bagaimana dengan hak mereka yang sudah lulus seleksi CASN? Mereka sudah melewati semua tahapan, sudah memenuhi syarat, tapi negara malah memperpanjang masa penantian tanpa kepastian.
Mendiang, Gus Dur pernah berkata, “Tidak penting apa agamamu, tidak penting apa sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya agamamu.” Nah, dalam hal ini, tidak penting siapa presidennya, siapa menterinya—yang penting adalah apakah kebijakan ini adil bagi mereka yang terdampak?
Lebih lucu lagi, alasan penundaan ini katanya demi menyesuaikan dengan rencana pembangunan jangka panjang. Seakan-akan, jika mereka diangkat sekarang, pembangunan negeri ini bisa berantakan. Padahal, sejak dulu bangsa ini lebih sering mengalami kerusakan bukan karena terlalu banyak ASN, melainkan karena terlalu banyak janji yang tak ditepati.
Menunda sesuatu seolah sudah menjadi kebiasaan di negeri ini. Menunda pengangkatan CASN, menunda keputusan strategis, menunda janji-janji kampanye. Padahal, jika menyangkut kepentingan sendiri, para pejabat tak pernah mau ditunda. Lihat saja, kalau menyangkut tunjangan dan fasilitas, tidak ada yang namanya harmonisasi kebijakan atau rencana jangka panjang. Semua lancar jaya.
Sementara itu, mereka yang sudah lulus seleksi harus menerima takdir sebagai ahli sabar. Ditunda satu bulan, dua bulan, sekarang hampir satu tahun. Mereka yang sudah resign dari pekerjaan lama demi status ASN, kini malah tak jelas nasibnya. Ramadhan mengajarkan kita untuk berempati pada mereka yang kurang beruntung. Tapi, apakah pemerintah juga punya empati kepada mereka yang diperlakukan seperti ini?
Padahal, kalau Ramadhan saja ada kepastian berbuka, seharusnya mereka yang sudah lulus CASN juga tahu kapan nasibnya akan jelas. Jangan sampai mereka berpuasa tanpa tahu kapan boleh berbuka. Sebab, menunggu boleh jadi bagian dari ujian, tapi negara seharusnya tidak menjadikan rakyatnya ahli sabar secara terpaksa