Frensia.id – Ramadhan sudah di hari ke-18. Itu artinya, kita makin dekat dengan ujung perjalanan bulan penuh rahmat ini. Tapi, ada satu kebiasaan yang sering kita lakukan di bulan ini, yang mungkin kita anggap sepele, padahal dalam doa hari ini disebut sebagai momen penuh berkah: sahur.
اللَّهُمَّ نَبِّهْنِي فِيْهِ لِبَرَكَاتِ أَسْحَارِهِ وَ نَوِّرْ فِيْهِ قَلْبِي بِضِيَاءِ أَنْوَارِهِ وَ خُذْ بِكُلِّ أَعْضَانِي إِلَى اتَّبَاعِ آثَارِهِ بِنُورِكَ يَا مُنَوِّرَ قُلُوْبِ الْعَارِفِينَ
“Ya Allah, beritahukanlah kepadaku di bulan ini segala berkah yang tersimpan di dua pertiga malamnya, terangkan hatiku di bulan ini dengan cahayanya, dan bimbinglah seluruh anggota tubuhku di bulan ini untuk mengikuti tanda-tanda keagungannya dengan cahaya-Mu, wahai penerang hati para ‘arif.”
Coba pikirkan sejenak. Sahur ini unik. Ini bukan sekadar soal makan sebelum puasa, bukan pula hanya strategi agar perut tak terlalu kaget menghadapi siang. Ada sesuatu yang lebih besar di dalamnya. Doa hari ini menyebutnya sebagai “barakat asḥārih”, berkah sahur.
Tapi, mungkin kita bertanya-tanya, berkahnya di mana? Sahur sering kali hanya ritual makan setengah sadar, mata masih lengket, tangan meraba-raba sendok, dan suara televisi mengumandangkan ceramah yang setengah kita dengarkan, setengah kita abaikan. Kalau beruntung, kita masih ingat baca doa niat puasa. Kalau tidak, yang penting habis makan, tidur lagi.
Padahal, kalau mau jujur, sahur ini seperti tamu agung yang datang mengetuk pintu, tapi kita hanya menyapanya sekilas lalu menutup pintu kembali. Dalam hadits disebutkan, “Sesungguhnya dalam sahur itu ada keberkahan.” Tapi keberkahan itu bukan hanya soal makanan yang kita telan, melainkan suasana di sekelilingnya: udara yang lebih sejuk, langit yang lebih teduh, suara yang lebih hening. Ini momen ketika banyak doa dikabulkan, tapi kita malah sibuk memilih lauk yang lebih gurih.
Doa hari ini juga menyebutkan soal cahaya: “nawwir fīhi qalbī biḍiyā’i anwārih”, “terangkanlah hatiku dengan cahayanya.” Mungkin maksudnya bukan hanya soal cahaya fisik, tapi juga cahaya yang bisa kita rasakan di hati.
Tapi masalahnya, kita ini sering mencari cahaya di tempat yang salah. Kita menganggap cahaya itu hanya sebatas lampu-lampu sorot di dunia ini: sorotan ketenaran, harta, pengakuan sosial. Kita lupa bahwa cahaya yang sejati sering kali hadir dalam sunyi, dalam keheningan sahur, dalam saat-saat kita menghadap Tuhan ketika orang lain masih tertidur.
Kalau mau jujur, kita ini sering merasa hidup dalam kegelapan bukan karena dunia terlalu gelap, tapi karena kita yang lupa menyalakan lampu di dalam hati. Kita sibuk mencari cahaya dari luar, padahal sumber cahayanya ada di dalam diri kita sendiri—hanya perlu dinyalakan dengan kesadaran.
Mengikuti Tanda-Tanda Keagungan-Nya
Bagian terakhir doa ini berbicara tentang “mengikuti tanda-tanda keagungan-Nya” dengan cahaya-Nya. Ini menarik. Seakan-akan, kita ini sebenarnya sudah sering melihat tanda-tanda kebesaran Tuhan, tapi kita tidak menyadarinya.
Mirip seperti seseorang yang tersesat di malam hari. Kalau dia punya cahaya, dia bisa melihat rambu-rambu di jalan, membaca petunjuk arah, dan menemukan tujuannya. Tapi kalau dia tidak punya cahaya, tanda-tanda itu tetap ada, hanya saja dia tidak bisa melihatnya.
Di sekitar kita, banyak sekali tanda kebesaran Tuhan: seorang ibu yang menyuapi anaknya dengan penuh kasih sayang, seorang tukang becak yang tetap bekerja keras meskipun penghasilannya tak seberapa, seorang santri yang mengaji dengan sungguh-sungguh meskipun hidupnya sederhana. Itu semua adalah tanda keagungan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi kita sering kali abai, terlalu sibuk dengan hal-hal besar yang kita anggap lebih penting.
Maka, doa ini sebenarnya mengingatkan kita: Jangan sampai kita kehilangan berkah sahur, jangan sampai kita kehilangan cahaya hati, dan jangan sampai kita buta terhadap tanda-tanda kebesaran-Nya yang sudah bertebaran di sekitar kita.
Mungkin, malam ini, sebelum sahur, kita bisa meluangkan waktu sebentar. Bukan untuk melihat menu apa yang tersedia, tapi untuk menyadari bahwa di dua pertiga malam ini ada keberkahan yang lebih dari sekadar makanan. Mungkin, kita bisa duduk sebentar, meresapi doa ini, dan membiarkan cahaya itu menyelinap perlahan ke dalam hati.
Kalau kata kyaiku di kampung, “Orang yang terlalu sibuk mengejar dunia, sering kali lupa mengejar dirinya sendiri.” Jangan sampai kita menjadi bagian dari mereka. Semoga.*