Frensia.id – Perseteruan antara Elon Musk dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memasuki babak baru yang semakin panas. Kali ini, konflik tersebut tidak hanya menjadi ramai di publik Amerika, namun juga mengundang respons dari pihak luar negeri, termasuk Rusia.
Semuanya bermula dari kritik tajam Elon Musk terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) “One Big Beautiful” yang digagas Trump. Menurut Musk, RUU tersebut bisa memperburuk defisit anggaran nasional.
Kritik ini datang tak lama setelah Musk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai penasihat di Department of Government Efficiency (DOGE), posisi yang sebelumnya ia emban selama hampir dua tahun.
Trump tidak tinggal diam. Ia menuding bahwa keberatan Musk muncul karena RUU tersebut menghapus insentif pembelian kendaraan listrik—insentif yang selama ini menguntungkan Tesla. Tak hanya itu, Trump juga menampik klaim bahwa dirinya menang dalam pemilu tahun lalu berkat dukungan finansial dari Musk.
“Saya kecewa berat pada Elon. Dia tahu isi RUU ini, tapi baru ribut setelah keluar. Sangat tidak jantan,” ujar Trump di platform Truth Social, 08/06/2025.
Musk langsung membalas melalui platform X. Ia menegaskan bahwa RUU tersebut tidak pernah diperlihatkan kepadanya saat masih menjabat.
Ia juga menepis tudingan Trump soal insentif mobil listrik.
“Saya peduli pada defisit, bukan pada subsidi. Utang nasional adalah ancaman terbesar bangsa,” tulis Musk.
Namun yang paling menggegerkan adalah saat Musk melontarkan tuduhan serius: bahwa nama Trump muncul dalam dokumen rahasia terkait kejahatan seksual Jeffrey Epstein.
“Saatnya menjatuhkan bom besar. Trump ada dalam berkas Epstein. Itu alasan kenapa dokumen itu belum dirilis,” tulis Musk. Ia bahkan meminta publik untuk menandai postingannya sebagai bukti untuk masa depan, seraya menyatakan dukungannya terhadap pemakzulan Trump.
Tak ingin kalah, Trump menyatakan bahwa dirinya secara resmi telah memecat Musk dari jabatan penasihat. Musk membalas tuduhan itu dengan menyebutnya sebagai “kebohongan terang-terangan”.
Konflik pribadi keduanya makin melebar ketika Stephen Bannon, sekutu dekat Trump, menyerukan deportasi Musk dan penyitaan aset-aset perusahaan seperti SpaceX. Seruan Bannon ternyata menggema hingga ke Moskow.
Mantan kepala badan antariksa Rusia (Roscosmos), Dmitry Rogozin, secara terbuka mengajak Musk untuk bergabung dalam unit militer Rusia “Bars-Sarmat”. Dalam unggahannya, Rogozin menyebut Musk sebagai “sahabat Rusia” dan memintanya datang ke Moskow.
Tak hanya itu, Dmitry Novikov, wakil ketua komite urusan internasional di parlemen Rusia, menyatakan Rusia siap memberikan perlindungan kepada Musk jika ia mengalami tekanan politik di Amerika.
Yang lebih mencengangkan, mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev juga ikut angkat bicara. Ia menawarkan diri menjadi mediator damai antara Musk dan Trump.
“Kami siap menjadi penengah. Sebagai imbalan, kami terima saham Starlink. Jangan bertengkar terus, guys,” tulisnya santai di X.
Media sosial Rusia langsung dibanjiri meme dan spekulasi. Warganet membandingkan Musk dengan tokoh-tokoh Rusia yang sempat berseteru dengan kekuasaan, seperti Yevgeniy Prigozhin hingga Mikhail Khodorkovsky. Ada yang menyebut Musk sebagai “oligarki global baru” yang kini berpotensi menjadi musuh Trump.