Membangun Otonomi Daerah yang Bermartabat: Antara Regulasi, Korupsi, Dan Inovasi Digital

Jumat, 11 Juli 2025 - 10:20 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Mohammad Haris Taufiqur Rahman, S.H., M.H.*

Frensia.id- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 18 ayat (1), menjadi landasan konstitusional pembentukan pemerintahan daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Ketentuan ini melahirkan berbagai regulasi tentang pemerintahan daerah, termasuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.

Sebagai penyempurnaan sistem desentralisasi pasca-reformasi, UU No. 32 Tahun 2004 memberikan otonomi yang lebih luas kepada daerah untuk mengelola urusan sendiri. Tujuan utamanya adalah mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan publik yang lebih baik, pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan daya saing daerah.

Regulasi ini juga menekankan pentingnya prinsip demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta memperkuat eksistensi pemerintahan lokal yang menghargai partisipasi, keberagaman, dan kemandirian masyarakat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan berbagai kendala. Pelaksanaan desentralisasi tidak jarang justru menimbulkan persoalan koordinasi antara pusat dan daerah, munculnya fenomena “raja kecil” di daerah, ketidakharmonisan antara kepala daerah dan wakilnya, serta maraknya kasus korupsi kepala daerah.

Dalam kurun waktu 2020 hingga 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima sebanyak 21.189 laporan dari masyarakat. Dari total tersebut, 9.603 laporan diarsipkan, sedangkan 16.821 lainnya telah melalui tahap verifikasi. Lima daerah dengan jumlah pengaduan tertinggi meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Jawa Tengah. Fakta ini mencerminkan bahwa praktik korupsi, khususnya di tingkat daerah, masih menjadi permasalahan yang cukup krusial.

Di sisi lain, pelaksanaan desentralisasi yang sejatinya bertujuan memperkuat otonomi daerah, justru dihadapkan pada berbagai hambatan di lapangan. Kondisi tersebut menjadi tantangan serius dalam upaya membangun tata kelola pemerintahan daerah yang transparan, bersih, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selain itu, pelaksanaan kekhususan daerah seperti di DKI Jakarta, Yogyakarta, Aceh, dan Papua juga belum berjalan efektif dan sinergis. Hasil penelitian Suharyo menunjukkan adanya tumpang tindih kewenangan dan kekaburan peran gubernur di daerah otonomi khusus, yang diakibatkan oleh dominasi kepentingan politik elit lokal maupun pusat.

Reformasi 1998 menjadi titik awal perubahan hubungan antara pusat dan daerah melalui sistem desentralisasi. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hadir sebagai dasar awal pelaksanaan otonomi daerah yang membongkar pola pemerintahan sentralistik Orde Baru, dengan memberi daerah kewenangan politik dan pengelolaan sumber daya lokal. Hal ini memunculkan identitas dan kebanggaan lokal, serta memperkuat posisi daerah terhadap kekayaan alamnya.

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menggantikan regulasi sebelumnya dan memperkuat desentralisasi, termasuk dengan diberlakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Mekanisme Pilkada langsung dinilai sebagai langkah demokratis karena memberikan rakyat hak penuh dalam menentukan pemimpinnya.

Baca Juga :  Gagas Kewarisan Islam Berbasis Kemaslahatan dan Kearifan Lokal, Sri Lumatus Sa’adah Dikukuhkan sebagai Guru Besar Perempuan Pertama di Fakultas Syariah UIN KHAS

Namun, pelaksanaannya menghadapi berbagai kendala, seperti konflik antara kepala daerah dan DPRD, munculnya praktik politik transaksional, serta tarik-menarik antara kepentingan pusat dan daerah. Hal ini mencerminkan masih adanya keraguan elite pusat terhadap kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi secara utuh.

Seiring waktu, kelemahan UU No. 32/2004 mulai terlihat, khususnya dalam pembagian kewenangan yang tumpang tindih antara pusat dan daerah, lemahnya pendekatan lingkungan dalam pengelolaan sektor kehutanan dan kelautan, serta kurang optimalnya pengawasan. Kondisi ini mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagai bentuk penyempurnaan.

Undang-undang baru ini bertujuan memperjelas pembagian urusan pemerintahan, memperkuat pengawasan, dan menyesuaikan regulasi dengan perkembangan sistem ketatanegaraan serta kebutuhan pembangunan nasional.
UU No. 23/2014 diharapkan mampu menciptakan hubungan yang lebih harmonis antara pemerintah pusat dan daerah, serta mendorong partisipasi masyarakat, transparansi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Meskipun berbagai regulasi telah diperbarui pascareformasi, pelaksanaan otonomi daerah masih menghadapi persoalan serius seperti ketidakseimbangan kewenangan dan lemahnya koordinasi antarlevel pemerintahan. Oleh karena itu, evaluasi terhadap efektivitas UU No. 23/2014 menjadi penting untuk menilai sejauh mana regulasi ini mampu menjawab tantangan yang belum terselesaikan oleh regulasi sebelumnya.

Kendati demikian, Pilkada langsung dianggap sebagai langkah maju dalam demokratisasi lokal. Secara teoritis, seperti yang dikemukakan oleh O’Neill, demokrasi nasional yang mapan hanya dapat tumbuh dari demokrasi lokal yang kuat.

Oleh karena itu, Pilkada langsung bukan hanya ajang politik lokal, tetapi juga pilar penting dalam pembentukan arah politik nasional.
Pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki sejumlah keunggulan, seperti memperkuat legitimasi kepemimpinan, meningkatkan akuntabilitas politik kepada rakyat, menciptakan stabilitas pemerintahan daerah, serta mendorong partisipasi masyarakat dalam proses politik.

Meski masih menghadapi berbagai tantangan dan praktik penyimpangan, Pilkada langsung tetap dianggap sebagai instrumen penting dalam pendidikan politik dan konsolidasi demokrasi yang perlu dijaga serta disempurnakan.
Namun, meskipun Pilkada langsung mencerminkan semangat demokratisasi, pelaksanaan otonomi daerah masih dihadapkan pada berbagai persoalan struktural.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa efektivitas pemerintahan daerah tidak hanya ditentukan oleh mekanisme pemilihan, tetapi juga oleh kualitas tata kelola dan kerja sama antarlembaga pemerintah. Dalam konteks inilah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dirumuskan sebagai langkah perbaikan atas kelemahan yang masih melekat pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak lepas dari berbagai kelemahan yang melekat dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Salah satu kritik utama datang dari Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan, yang menyoroti lemahnya kontrol gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat terhadap kabupaten dan kota.

Dalam praktiknya, gubernur sering kali tidak mampu mengendalikan penyimpangan kebijakan daerah, terutama dalam sektor yang rawan eksploitasi seperti pertambangan, kehutanan, dan kelautan. Ketimpangan ini diperparah oleh perbedaan afiliasi politik antara gubernur dan kepala daerah, yang menyebabkan koordinasi pemerintahan menjadi tidak efektif.

Baca Juga :  Pasca RDP dengan Komisi B DPRD Jember, Pemilik Kandang Ayam di Semboro Siap Lengkapi Seluruh Izin

Salah satu kelemahan lain dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah tidak terkendalinya proses pemekaran wilayah, adanya tumpang tindih kewenangan antara berbagai level pemerintahan, serta melemahnya fungsi pengawasan dari pemerintah pusat. Kondisi ini mencerminkan ketidakseimbangan dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, yang turut mendorong lahirnya figur-figur berkuasa layaknya “raja-raja kecil” di daerah.

Di sisi lain, penerapan otonomi daerah memberikan sejumlah manfaat positif dalam bidang ekonomi, sosial-budaya, dan stabilitas politik. Pemerintah daerah memperoleh kewenangan untuk mengelola sumber daya alam serta potensi lokal, yang berdampak pada peningkatan pendapatan daerah dan kesejahteraan warga.

Selain itu, otonomi turut mendukung pelestarian budaya setempat, memperkuat identitas kedaerahan, memberikan pelayanan terbaik, dan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembangunan. Dari perspektif politik, desentralisasi berfungsi sebagai instrumen strategis untuk menjaga integrasi nasional dan mencegah perpecahan.

Berdasarkan berbagai dinamika yang terjadi, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dirumuskan sebagai upaya perbaikan terhadap regulasi sebelumnya. Undang-undang ini menitikberatkan pada penguatan fungsi gubernur, penyusunan ulang pembagian kewenangan secara lebih sederhana, serta peningkatan pengawasan terhadap pemerintah daerah.

Tujuannya adalah menciptakan sistem pemerintahan yang lebih terkoordinasi dan terarah. Diharapkan, regulasi ini mampu mendorong terciptanya tata kelola pemerintahan yang lebih efisien, pelayanan optimal yang merata, dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pemberian kewenangan desentralisasi oleh pemerintah pusat kepada daerah pada hakikatnya dimaksudkan untuk mendorong peningkatan mutu layanan publik guna menunjang kesejahteraan masyarakat. Seiring dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat, pemerintah daerah dituntut untuk melakukan berbagai inovasi, termasuk dalam menyediakan layanan publik berbasis digital.

Pelayanan secara daring menjadi strategi penting dalam memperluas akses, meningkatkan efektivitas, dan menciptakan pelayanan yang optimal di berbagai bidang. Dengan demikian, jika masih ada daerah yang belum menerapkan layanan digital hingga saat ini, maka hal tersebut perlu menjadi bahan evaluasi, khususnya terkait sistem tata kelola pemerintahan daerah dan komitmennya dalam menjamin hak-hak pelayanan masyarakat secara maksimal.

Otonomi daerah pada hakikatnya bukan sekadar sistem pembagian kewenangan, melainkan juga sarana untuk mendorong partisipasi masyarakat, mengembangkan potensi daerah, serta menjaga kestabilan nasional. Oleh karena itu, pelaksanaannya perlu dikaji dan dievaluasi secara berkelanjutan agar manfaatnya benar-benar dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, serta tidak menciptakan bentuk ketimpangan baru. Diperlukan kolaborasi yang kuat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk mewujudkan otonomi daerah yang demokratis, adil, dan berorientasi pada keberlanjutan.

Penulis : *Editor in Chief Lex Economica Journal UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember & Reviewer Journal El-Iqtishady UIN Alauddin Makassar

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Terlalu Tinggi! Nilai Kenaikan NJOP Banyuwangi Dipertanyakan Pansus DPRD
DPC PKB Jember Sarankan Simpang Tiga Depan Hotel Bandung Permai Ditutup
Tanggapan Perumahan Soal Penutupan Simpang Empat Argopuro Jember
Uji Coba Penutupan Simpang Empat Argopuro Jember Dilakukan Per-Hari ini
Kukuhkan Empat Guru Besar, Rektor UIN KHAS Jember Ungkap Transformasi dan Watak Seorang Guru Besar
Gagas Kewarisan Islam Berbasis Kemaslahatan dan Kearifan Lokal, Sri Lumatus Sa’adah Dikukuhkan sebagai Guru Besar Perempuan Pertama di Fakultas Syariah UIN KHAS
Keren! Gagas Tuhan Inspirasi Kebebasan, Fawaizul Umam Dikukuhkan Jadi Guru Besar di UIN KHAS
Prestasi Akademik menjadi Penilaian Utama, Ketua DPRD Jember Apresiasi Pelaksanaan SPMB SMA-SMKN 2025/2026

Baca Lainnya

Jumat, 11 Juli 2025 - 18:00 WIB

Terlalu Tinggi! Nilai Kenaikan NJOP Banyuwangi Dipertanyakan Pansus DPRD

Jumat, 11 Juli 2025 - 10:20 WIB

Membangun Otonomi Daerah yang Bermartabat: Antara Regulasi, Korupsi, Dan Inovasi Digital

Kamis, 10 Juli 2025 - 11:49 WIB

DPC PKB Jember Sarankan Simpang Tiga Depan Hotel Bandung Permai Ditutup

Jumat, 4 Juli 2025 - 19:01 WIB

Tanggapan Perumahan Soal Penutupan Simpang Empat Argopuro Jember

Jumat, 4 Juli 2025 - 18:53 WIB

Uji Coba Penutupan Simpang Empat Argopuro Jember Dilakukan Per-Hari ini

TERBARU

Kepala Dispora Jember, Edy Budi Susilo saat diwawancarai (Sumber foto: Sigit)

Politia

Jember Lakukan Evaluasi Menyeluruh Pasca Porprov ke-IX Jatim

Kamis, 10 Jul 2025 - 11:55 WIB