YOGYAKARTA, Frensia.id — Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) dan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII) menilai pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka, menunjukkan kemunduran serius dalam agenda reformasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM).
Penilaian tersebut disampaikan dalam seminar refleksi akhir tahun 2025 yang digelar di Gedung Yayasan Wakaf UII, bertajuk “Hukum dan Politik Pemerintahan Prabowo–Gibran”, Selasa (30/12/2025).
Masduki, Kepala PSAD UII mengatakan, reformasi yang diperjuangkan sejak 1998 tidak hanya mengalami stagnasi, tetapi juga memperlihatkan gejala kemunduran dengan menguatnya praktik kekuasaan otoriter.
“Reformasi telah berhenti, bahkan muncul gejala otoritarianisme nostalgia. Ada anekdot yang sering terdengar, ‘kepiye to, enak jamanku’,” ujar Masduki.
Ia menilai demokrasi di Indonesia kini dijalankan secara formalistik dan bersifat instrumental. Prosedur demokrasi tetap jalan, namun substansi kebijakan dan pengelolaan kekuasaan justru dijalankan secara sentralistis dan represif.
Sementara itu, Dewan Penasihat PUSHAM UII, Dafri Agussalim menyoroti kemunduran kinerja pemerintahan yang menurutnya sudah terlihat sejak awal pembentukan kabinet. Ia mengkritik kabinet yang dinilai terlalu gemuk dan sarat kepentingan politik.
“Jika dibandingkan dengan China, Amerika Serikat, atau negara lain, kabinet mereka relatif kecil dan mudah dalam kordinasi. Di Indonesia, kabinet yang gemuk justru menimbulkan dampak negatif,” ucapnya.
Efek dominonya menurut Dafri, banyak menteri yang diutus parpol tidak memiliki kompetensi profesional sesuai bidangnya. Selain itu, setiap menteri membawa misi dan kepentingan partai, yang kerap beririsan dengan agenda elektoral.
Ia mencontohkan kunjungan sejumlah menteri dan pejabat ke lokasi bencana banjir di Sumatera yang dinilainya lebih berorientasi pada pencitraan politik ketimbang respons kebijakan yang substansial.
“Mereka memiliki misi dan tujuan untuk menaikkan elektabilitas yang menguntungkan partainya,” ujarnya.
Dafri juga menilai mandeknya penegakan HAM tidak terlepas dari lemahnya pengetahuan pemerintah. Ahkirnya kebijakan dibangun tanpa kajian mendalam dan cenderung implusif.
“Banyak kebijakan dibangun secara impulsif. Baru ada ide saat bangun tidur, langsung dijadikan program, atau punya ide di kamar mandi, langsung dijadikan program,” katanya.
Kepala PUSHAM UII Eko Riyadi menambahkan, kondisi tersebut diperparah oleh sikap pemerintah yang dinilai tidak mau mendengar suara publik. Hal ini tampak dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM, salah satunya kasus meninggalnya Afan Kurniawan pada Agustus lalu.
“Presiden baru mengetahui kasus itu keesokan harinya. Ini menimbulkan pertanyaan, mengapa informasi tidak sampai? Ada indikasi upaya menutupi informasi oleh orang-orang dekat kekuasaan,” ujar Riyadi.
Di penghujung acara ini, PUSHAM dan PSAD UII menghasilkan rekomendasi yang menjadi lima poin tuntutan kepada pemerintah Prabowo–Gibran.
- Mendesak penghentian keterlibatan militer dalam program prioritas dan jabatan sipil, serta mengembalikan TNI-Polri pada fungsi pertahanan-keamanan.
- Segera hentikan penangkapan dan represi terhadap aktivis serta melakukan reformasi total terhadap Polri, Kejaksaan, hingga Mahkamah Agung.
- Menghentikan sementara seluruh PSN, termasuk program Makan Bergizi Gratis (MBG), Food Estate, dan koperasi merah putih, terutama rencana penanaman sawit di wilayah Timur hingga ada kajian dampak lingkungan dan sosial yang mendalam.
- Menuntut evaluasi izin eksploitasi lingkungan, ganti rugi masyarakat, serta penghentian pendekatan keamanan di Aceh.
- Mengkaji ulang pemotongan anggaran negara yang berdampak pada pemenuhan hak dasar masyarakat dan penguatan pengawasan penyelenggaraan hukum.







