Pasca PEMILU 2024 usai dengan hasil sebagaimana yang kita ketahui bersama, langsung disusul dengan PILKADA. Sekalipun tahapan penyelenggaraan belum dimulai, gelagat dan aroma dunia persilatan langsung saja bisa tercium. Apalagi sekarang setelah pembentukan badan adhoc KPU sudah selesai dan beberapa tahapan penyelenggaraan mulai bergulir.
Beberapa foto yang mendelegasikan dirinya untuk menjadi kandidat pada kontestasi PILKADA 2024 semakin banyak terpampang di jalanan. Beberapa diantaranya pun sudah memberi sinyal dengan memaparkan program apabila ia terpilih nantinya.
Masyarakat pun sudah mulai memperbincangkan, mulai dari yang mengafirmasi pada satu calon dan mengabaikan yang lain, hingga mengurai beberapa visi yang ditawarkan di warung-warung kopi, pos-pos ronda dan beberapa tempat perkumpulan lainnya. Setiap orang jelas mempunyai sudut pandangnya masing-masing dan tendensinya, sehingga warna pemihakan sudah mulai terlihat.
Lepas dari kondisi tersebut, sebenarnya kesimpulan yang menjadikan pilihan bagi seorang pemilih adalah hasil bacaan mereka terhadap apa yang hendak ditawarkan oleh seorang calon atau sebagai hasil dari pandangan pemilih terhadap kepribadian calon.
Oleh karena itu selama masa penjajakan mana pemimpin yang kiranya dianggap kompeten dan kompatibel dalam menghadapi tantangan zaman era sekarang, maka hari-hari ini adalah ujian bagi pemilih.
Karena apa yang nantinya mereka pilih akan memberi konsekuensi pada kondisi sosial-ekonomi dalam jangka waktu lima tahun ke depan.
Pada dasarnya, secara umum terdapat dua macam kualifikasi sosok pemimpin yang seharusnya diperhatikan secara teliti oleh pemilih. Pertama pemimpin yang mempunyai kecenderungan strategis dan pemimpin yang mempunyai nilai idealis.
Kategorisasi ini tidak berdasarkan kesesuaian antara visi dan misi dengan kondisi dan tantangan yang dihadapi, melainkan berdasarkan kepribadian seseorang yang memungkinkan seseorang mempunyai I’tikad baik untuk merealisasikan apa yang ia pikirkan untuk kemajuan Bersama atau tidak.
Tetapi tetap saja, kesesuaian visi dan misi adalah variabel penting yang tidak bisa dihindari, bahkan menjadi prioritas utama yang tak terelakkan dalam menentukan sikap di dalam bilik tempat pemungutan suara (TPS).
Pertama, pemimpin strategis, untuk sosok ini digambarkan secara ilustratif oleh seorang politisi dan diplomat asal Italia, Nicollo Machiavelli, dalam bentuk nasihat kepada pangeran Lorenzo. Yang mana termuat dalam bukunya yang berjudul Il Principle.
“kalau mau awet berkuasa, harus pandai-pandai meniru Binatang singa dan Binatang rubah. Jangan tiru singa saja, karena singa tak mampu mengendus perangkap. Jangan tiru rubah saja, karena rubah mudah diterkam serigala”.
Jadi menurutnya seorang pemimpin yang ingin melampiaskan hasrat kekuasaannya lebih lama atau dalam terminology Nietzsche syahwat keabadian, maka seseorang harus bisa menggunakan taring singa dan kamuflase dengan bulu rubah.
Kriteria pemimpin seperti itu akan menjadikan rakyat yang ia pimpin sebagai media dan jalan supaya dirinya bisa lebih langgeng, bukan lagi sebagai tujuan dari alasan mengapa ia mesti mengambil tampuk kepemimpinan.
Oleh karena itu beberapa gimmick politik yang ditampilkan akan memicu sesuatu yang disukai oleh rakyat bahwa pemimpin tersebut penuh kasih sayang, beriman dan berbudi luhur, tetapi setelah peluang memuaskan hasratnya tersedia, maka persetan dengan itu semua, taring yang ia selipkan siap untuk menerkam.
Kedua, pemimpin idealis, pada kriteria ini sebagaimana yang disampaikan budayawan Emha Ainun Najib atau yang lebih akrab disapa Cak Nun. Seorang pemimpin harus memahami tiga aspek, peta kekuasaan, konstelasi politik dan mampu mendengar jiwa sejati.
Pada point pertama dan kedua wajar saja seorang harus cermat dalam memahaminya, hal tersebut dikarenakan untuk mencapai sebuah tujuan maka harus menguasai medianya terlebih dahulu.
Dalam kapasitas ini adalah kuasa politik dengan segala atributnya. Tetapi tidak lantas menjadikannya sebagai tujuan, sebuah tampuk kepemimpinan bukanlah sebuah tujuan melainkan sebuah input untuk memproduksi sebuah output, yaitu kesejahteraan bagi rakyat.
Meski diperkirakan terlebih dahulu, bahwa kesejahteraan yang dimaksud bukanlah berdasarkan ukuran dari seorang pemimpin itu sendiri dalam mengkreasikan pikirannya, melainkan berasal dari apa yang dibutuhkan oleh rakyat.
Dengan demikian seorang pemimpin harus dibekali dengan sebuah fitur khusus, yaitu kemampuan mendengarkan jiwa sejati. Artinya ia harus mempunyai kepekaan dan sensitifitas terhadap kehendak rakyat itu sendiri, entah dalam tempo saat ini ataupun dalam kadar kebutuhan yang mungkin diproyeksikan pada masa mendatang.