Frensia.id – Dentuman seruan All Eyes On Papua muncul diberbagai platform sebagi wujud dukungan tehadap masyarakat Papua yang sedang memperjuangkan hutan adat mereka. Itu terjadi setelah Pemprov Papua memberi izin PT Indo Asiana Lestari menjadikan lahan perkebunan kelapa sawit seluas 36.094 hektar, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta.
All Eyes On Papua dalam bahasa Indonesia berarti ‘semua mata tertuju pada papua’, artinya masyarakat –Indonesia– peduli dengan kasus yang tengah dialami masyarakat papua. Mereka menolak dengan melakukan gugatan di pengadilan tingkat pertama dan kedua, namun kandas.
Ajakan All Eyes On Papua ini berkaitan dengan permintaan masyarakat adat Awyu dan Moi agar hutannya diselamatkan tidak menjadi objek lahan perkebunan kelapa sawit. Mereka saat ini tengah berjuang mengajukan permohonan kasasi kepada MA terkait perkara tersebut.
Mereka melakukan aksi damai di depan gedung Mahkamah Agung (MA), menanti keadilan atas ketidakadilan yang mereka alami. Harapannya lembaga peradilan tertinggi ini bisa menjatuhkan putusan yang bisa menyelamatkan hutan adatnya. Mereka sedang menanti keadilan MA.
Hastag All Eyes On Papua ini tentu tidak hanya ‘mata’ kepedulian masyarakat, namun ‘mata’ keadilan dari lembaga peradilan, seperti Mahkamah Agung. Nasib mereka hari ini ada di palu ‘kebijaksanaan’ para hakim mulia Mahkamah Agung.
Masyarakat menaruh harapan besar bagi MA, benar-benar mempertimbangkan aspek filosofis dan sosiologis, tidak hanya pertimbangan yuridis. Sehingga keadilan yang dicapai dan diwujudkan dalam putusan tersebut adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan masyarakat (social justice).
Selaras dengan Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dalam memutus suatu perkara. Dalam UU No. 48 Th. 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dikutip dari laman Kepaniteraan Mahkamah Agung RI, Ketua Mahkamah Agung Yang Mulia Prof. Dr. H.M Syarifuddin menuturkan bahwa konsep hakiki pengadilan adalah tempat memberikan keadilan, bukan tempat mempermainkan keadilan.
Pada aspek keadilan sosial (social justice), MA benar-benar menggali nila-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Seperti permintaan mereka dalam aksi damai, majelis hakim dapat mengedepankan aspek keadilan lingkungan dan iklim, yang dampaknya secara langsung dirasakan suku Awyu dan suku Moi, serta berimbas pada masyarakat Indonesia.
“Kami datang dari Tanah Papua ke ibu kota Jakarta untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan,” ujar perwakilan dari suku Awyu, Hendrikus ‘Franky’ Woro.
Mereka menanti keadilan MA, sebuah keadilan hukum bagi masyarkat adat. Bagi mereka hutan adat adalah tempat berburu dan meramu sagu, penyangga hidup, semuanya tersedia di hutan, bahkan hutan adalah apotek.
Mereka harus merawat dan membesarkan anak-anak mereka dengan hasil alam, perkebunan sawit merusak dan mengancam hidup mereka. Kini keadilan MA yang mengantarkan mereka pada bumi keadilan. Kandas ataukah berhasil memperoleh keadilan? (*)
*Moh. Wasik (Penggiat Filsafat Hukum)