Frensia.id – Sebuah penelitian dari akademisi Amerika Serikat, David Lester, mengungkapkan bahwa angka bunuh diri di kalangan umat Muslim lebih rendah dibandingkan penganut agama lain.
Studi bertajuk “Suicide and Islam” yang diterbitkan pada tahun 2007 di Archives of Suicide Research ini menyajikan data menarik, meskipun menuai beragam tanggapan dari kalangan pakar.
David Lester mencatat bahwa sebagian besar penelitian tentang bunuh diri di negara-negara Muslim lebih bersifat deskriptif, didasarkan pada data yang tersedia dari kasus bunuh diri yang telah terjadi maupun percobaan bunuh diri.
Ia menyoroti adanya kemungkinan beberapa kasus bunuh diri tidak dilaporkan di negara-negara Muslim yang melarang perilaku ini. Namun, secara keseluruhan, tingkat bunuh diri di kalangan Muslim tetap lebih rendah dibandingkan penganut agama lain, bahkan di wilayah yang dihuni oleh komunitas agama yang beragam.
Meski begitu, banyak pakar mencatat bahwa angka percobaan bunuh diri di kalangan Muslim tidak menunjukkan perbedaan signifikan dibandingkan dengan non-Muslim.
Penelitian Lester juga dinilai kurang mempertimbangkan faktor-faktor penting seperti latar belakang etnis maupun sekte Islam yang dianut individu.
Lester sebenarnya mencoba menelusuri beberapa alasan di balik rendahnya angka bunuh diri tersebut, termasuk nilai-nilai agama yang kuat dan perbedaan status sosial-ekonomi.
Data yang digunakan Lester berpusat pada tahun 1970-an dan 1980-an, periode di mana sensus nasional lebih banyak tersedia. Ia memilih rentang waktu tiga tahun untuk mengatasi kekurangan pelaporan bunuh diri di beberapa negara.
Namun, beberapa penelitian memang cukup berbeda dengan temuan Lestee. Berdasarkan data dari World Factbook Central Intelligence Agency (CIA) tahun 2002, tercatat bahwa umat Muslim rata-rata memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi dibandingkan umat Hindu. Namun, hal ini masih membutuhkan peninjauan lebih lanjut untuk memahami hubungan dengan angka bunuh diri.
Penelitian serupa sebelumnya juga mencatat rendahnya angka bunuh diri di negara-negara mayoritas Muslim. Sebagai contoh, penelitian Khan (1998) mengenai kasus bunuh diri di Pakistan menunjukkan bahwa 92% dari 10 kasus bunuh diri yang berhasil dan 90 kasus percobaan bunuh diri adalah Muslim.
Hal ini mencerminkan mayoritas populasi Muslim di wilayah tersebut, namun tidak memberikan analisis mendalam mengenai kaitannya dengan keyakinan agama.
Di sisi lain, Eferakeya (1984) dalam studinya tentang percobaan bunuh diri di Benin City, Nigeria, tidak mencatat agama pasien, meskipun data tersebut penting untuk memahami pola bunuh diri berdasarkan latar belakang agama.
Faktor budaya dan hukum juga turut berperan dalam cara negara-negara Muslim menangani percobaan bunuh diri. Chaleby (1974) mencatat bahwa di Iran pada tahun 1970-an, percobaan bunuh diri lebih sering dianggap sebagai masalah kesehatan mental daripada kriminal.
Pasien yang mencoba bunuh diri sering kali diberikan perawatan medis dan dikirim pulang, bukan dimasukkan ke rumah sakit jiwa atau menghadapi hukuman pidana.
Meski temuan Lester menarik perhatian, banyak peneliti lain yang mempertanyakan validitas dan cakupan data yang ia gunakan.
Beberapa mengkritik bahwa penelitian ini gagal memperhitungkan faktor-faktor kompleks seperti stigma sosial, dukungan komunitas, serta pengaruh nilai agama yang beragam di dunia Muslim.
Secara keseluruhan, penelitian ini menyoroti pentingnya memahami hubungan antara agama dan kesehatan mental dalam konteks sosial dan budaya.
Namun, temuan Lester memerlukan verifikasi lebih lanjut dengan metode yang lebih holistik untuk memastikan gambaran yang akurat.