Frensia.id- Masyarakat memiliki tiga jenis hari raya, yakni idul fitri, Idul Adha dan lebaran lontong. Idul fitri dan idul adha dilaksanakan sebagaimana pada umumnya. Yang unik adalah hari lontong, di beberapa daerah umum disebut hari raya kecil atau ketupat.
Hari raya kecil umumnya diistilahkan oleh mereka sebagai tellasan lontong. Pelaksanaannya dilaksanakan pada tanggal 7 syawal.
Biasanya masyarakat muslim Indonesia pada umumnya menyebutnya lebaran ketupat. Memekai ketupat karena mengandung simbol nilai-nilai atau falsafah tertentu.
Ketupat diartikan sebagai “ngaku lepat“. Artinya mengakui kesalahan. Pemaknaan ini searah dengan ajaran Islam dalam merayakan kemenangan besar setelah berpuasa. Tentu masih banyak makna yang lain selain makna falsafah tersebut.
Masalahnya, masyarakat muslim Kabupaten Situbondo tidak lagi mengistilahkannya sebagai hari raya ketupat. Mereka menyebutnya sebagai hari raya lontong.
Sebagaimana ketupat, mestinya lontong memiliki makna juga. Dengan kata lain, juga memiliki dimensi nilai-nilai yang diyakini.
Lantas apa saja falsafah tellasan lontong? Dilansir dari Babad.id, adalah sebagaimana berikut ini:
Falsafah Makna Lontong
Lontong merupakan kependekan dari olono dadi kothong. Maknanya adalah kejelekan menjadi kosong.
Dalam konteks momen lebaran, lontong melambangkan penghapusan dosa dan kesalahan kita melalui proses bermaaf-maafan.
Filosofi lontong memiliki kemiripan dengan ketupat. Keduanya menggambarkan tindakan mengakui kesalahan atau dosa yang telah dilakukan.
Selain itu lontong yang juga dikenal sebagai klontong atau jembatan kecil. Makna filosofisnya, dapat menjadi alat perantara untuk membantu orang lain dengan hati yang lapang.
Lontong atau klontong seperti jembatan kecil yang memudahkan orang untuk melangkah dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini menggambarkan bahwa dengan hati yang terbuka dan jiwa yang luas, seseorang lebih cenderung untuk membantu orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
Falsafah Tekstur
Lontonng memiliki tekstur lunak namun tidak lembek. Hal demikian dapat menjadi metafora untuk hati yang dapat menerima nasihat dengan mudah. Orang yang memiliki hati yang lunak juga cenderung membantu orang lain.
Diharapkan setelah momen lebaran dan proses bermaaf-maafan. Hati akan kembali menjadi lembut dan siap untuk menerima nasihat serta memberikan bantuan kepada sesama.