Fiqh Parlemen Dan Langgam Politik Perempuan

Frensia.id – Melampaui batas menyemai kesetaraan adalah ungkapan untuk menggambarkan perempuan di panggung pemilu 2024. Pemilihan umum tahun ini memberikan sejarah baru bagi parlemen, khususnya bagi perempuan itu sendiri.

Pasalnya pada perhelatan pemilu kali ini anggota Dewan perwakilan Rakyat (DPR) RI perempuan meningkat, melawati batas pemilu-pemilu sebelumnya. Sebuah capaian besar, menunjukkan augmentasi keterwakilan perempuan di lembaga legislasi.

Informasi bahagia tersebut berdasarkan laporan dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) seperti di lansir Kompas.com, mengungkapkan akumulasi caleg perempuan yang diprediksi lolos sebagai anggota parlemen pada pemilu 2024 meningkat dibandingkan pemilu-pemilu yang sebelumnya. Bahkan, Pemilu 2024 menghasilkan anggota DPR RI perempuan paling banyak sepanjang sejarah pemilu pasca era Reformasi.

Bacaan Lainnya

Meski demikian, kenaikan jumlah perempuan yang melenggang ke gedung parlemen bukanlah sebatas capaian diatas kertas statistik. Peningkatan ini tentu mengandung harapan akan suara perempuan yang semakin afirmatif pada persoalan kebijakan publik.

Bertambahnya perempuan di parlemen harus dibarengi semakin kuatnya keseragaman visi dalam pengambilan keputusan negara, terutama pada isu mengenai perempuan. Jangan sampai mereka pandai menyuarakan kesetaraan gender, sementara disaat menjabat wakil rakyat lebih tunduk pada tekanan partai pengusungnya.

Perempuan di parlemen harus menyeragamkan visi untuk membumikan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan, yang dianggap selama ini masih belum seutuhnya tercover. Mereka harus berani ‘menomorduakan’ kepentingan parpol dan menempatkan aspirasi masyarakat diatas segalanya.

Seperti yang kebanyakan perempuan tuntut, keadilan dan kesetaraan tanpa membedakan kelas apapun. Bekerja dengan integritas, kejujuran dan keadilan sebagai etika pemerintahan berbasis fiqh siyasah, hanya saja dalam tulisan ini penulis memakai istilah fiqh parlemen.

Term fiqh parlemen ini memang tampak baru dan asing , bahkan terkesan aneh. Namun sejatinya mengacu pada pelaksanaan prinsip-prinsip hukum Islam dalam konteks siyasah (politik) dan pengambilan keputusan di parlemen.

Pentingnya Fiqh parlemen terletak pada bagaimana semua kebijakan yang digodok di ruang parlemen harus diorientasikan untuk kemanfaatan (kemaslahatan) masyarakat luas. Lebih inklusif dan responsi terhadap segala persoalan yang dibutuhkan bangsa ini, khususnya kelompok marginal seperti masyarakat kecil, perempuan dan anak.

Hadirnya perempuan di parlemen dalam kajian fiqh parlemen memberikan perspektif yang lebih representatif. Setiap pengambilan kebijakan publik, perempuan terlibat langsung dalam ruas proses politik untuk mengarahkan segala produk hukum yang senyawa dengan kebutuhan masyarakat.

Dengan demikian, fiqh parlemen bukan hanya sekedar istilah tanpa makna, tetapi sebuah kerangka yang bisa mengafirmasi posisi perempuan di legislatif serta mendorong regulasi yang lebih inklusif.

Terlebih dalam diskursus agama tentang perempuan dan politik, tidak ada nash baku yang melarang perempuan menjadi anggota parlemen, justru sebaliknya hal demikian dibenarkan. Husen Muhammad dalam Fiqh Perempuan menyebutkan salah satu tokoh yang memperbolehkan perempuan menjadi anggota dewan atau parlemen adalah Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi, ulama terkemuka asal Syria.

Dalam Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’asharah seperti dikutip Husein Muhammad, Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi mengatakan bahwa syura (permusyawaratan) dalam pandangan mayoritas ulama memiliki kesamaan dengan fatwa. Anggota parlemen, menurut Sa’id Ramadhan al-Buthi memiliki fungsi yang sama dengan mufti. Seluruh ulama sepakat bahwa perempuan boleh menjadi mutfti. Karena itu, maka perempuan dapat dibenarkan menjadi anggota parlemen.

Dari sudut pandang praktis, perempuan di parlemen diyakini membawa sebongkah perubahan dalam setiap kebijakannya pada semua sektor seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial dan utamanya perlindungan.

Di ruang parlemen mereka harus berani menjadi antitesa atas segala regulasi yang tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat. Langgam politik perempuan di parlemen bukanlah bisikan parpol pengusungnya melainkan suara rakyat yang memberi kepercayaan. *

* Moh. Wasik (Santri Dar Al Falasifah Institut)