Frensia.id- Setelah ditanda tangani oleh presiden Joko Widodo pada tanggal 15 oktober dan ditetapkan lewat keputusan presiden nomor 22 tahun 2015 bahwa tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional.
Keputusan yang dicetuskan oleh Presiden Jokowi tersebut mempunyai landasan historis yang cukup mendasar dan berakar kuat di dalam ingatan para pejuang. Hanya saja hampir lekang oleh waktu, apabila tidak ada upaya untuk mengorek kembali beberapa peristiwa penting yang pernah terjadi.
Oleh karena itu, terdapat sejarah baru yang harus dipelajari oleh para siswa, akademisi dan lapisan masyarakat seluruhnya tentang sebuah kejadian bersejarah beberapa dekade silam. Dimana sebelumnya tidak pernah ada dan tidak dapat pengakuan dengan sebenarnya apa yang telah terjadi pada era revolusi fisik pasca pembacaan proklamasi.
Siapa saja pejuang yang menumpahkan darah dan mengorbankan nyawanya untuk kemerdekaan. Banyak yang lebih mengetahui tanggal 10 November sebagai hari pahlawan, tanpa memahami kronologi peristiwa yang mencakup sebelumnya.
Tidak banyak yang mengenal perang 10 November adalah berkaitan dan akibat dari beberapa perang sebelumnya yang berhasil membunuh Brigadir Jenderal Mallaby pada tanggal 30 oktober.
KH Agus Sunyoto mengulas peristiwa penting kaum santri dalam sebuah buku yang berjudul ‘Fatwa dan Resolusi Jihad’, bagaimana peran santri dan para Kyai yang selama ini terlupakan dalam sejarah Indonesia.
Setelah kemenangan pihak sekutu dalam perang dunia ke-II yang berakhir pada tanggal 15 Agustus 1945. Dibawah pimpinan panglima tentara Inggris Letnan Jenderal Philip Cristison, tentara sekutu tiba di Jakarta pada pertengahan September 1945, dan sepanjang Oktober 1945 di Medan, Padang, Palembang, Semarang. Sedangkan Letnan Gubernur Jenderal Belanda Hubertus J. Van Mook tiba pada bulan Oktober.
Mempertimbangkan itu semua, Soekarno lantas meminta fatwa kepada KH. Hasyim Asy’ary. Bagaimana apabila Indonesia diserang musuh dan bagaimana supaya Indonesia diakui kemerdekaannya oleh dunia.
Maka diadakan sebuah pertemuan yang dilakukan oleh kyai-kyai Nu sebagai wakil-wakil dari cabang-cabang NU bertempat di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober. Para ulama’ ini kemudian memutuskan bahwa perjuangan kemerdekaan untuk melawan penjajah sebagai jihad atau perang suci, lebih dikenal dengan resolusi jihad fi sabilillah.
Pada tanggal 25 Oktober kantor berita ANTARA dan pada tanggal 27 Oktober SUARA MASYARAKAT di Jakarta memuat berita resolusi jihad yang ditetapkan pada tanggal 22 Oktober tersebut.
Ketika Inggris datang pada 25 oktober di Surabaya, pertama kali tidak mendapatkan izin untuk masuk. Setelah berunding akhirnya mendapatkan izin oleh gubernur Surabaya dengan syarat untuk menempati lokasi yang sudah ditentukan.
Besok harinya, yaitu pada tanggal 26 oktober inggris membangun pos-pos pertahanan. Melihat persiapan yang telah dilakukan oleh Inggris, Sorenya pos-pos tersebut diserang oleh massa yang tidak mempunyai komandan perang.
Oleh karena itu, serangan tersebut bukanlah serangan resmi yang berarti perang, melainkan keroyokan massa atau dalam bahasa lain bisa disebut “tawuran”. Kejadian tersebut bisa berlangsung dikarenakan masyarakat mendengar seruan jihad yang dikeluarkan oleh PBNU pada tanggal 22 Oktober dan dimuat dalam beberapa surat kabar.
Pada tanggal 27 Oktober tentara terpengaruh ikut nawur Inggris. 28 Oktober 1000 lebih tentara inggris dibunuh. Tentara indonesia tidak mengakui telah melakukan penyerangan, karena apabila diketahui bahwa tentara Indonesia menyerang maka akan terjadi kehebohan yang besar dimata dunia, sehingga mereka berbaur dengan kerumunan massa yang tanpa ada Komandannya. Bagi tentara Inggis sendiri tidak pernah berfikir akan perang. Tetapi yang terjadi mereka malah diserang secara brutal. .
Terjadi lah perang di Surabaya mulai tanggal 26-29 Oktober 1945, motivasi serangan kepada Inggris tidak lain karena ada resolusi jihad dari PBNU. Tidak bisa dikatakan perang karena tidak terdapat strategi khusus yang dijalankan dan adanya komandan pasukan yang memimpin, sementara keikut sertaan dari TKR (Tentara Keamanan Rakyat) tidak lain karena terpengaruh oleh serangan dari arek-arek Suroboyo.
Sehingga tentara menyembunyikan statusnya dan berbaur dengan barisan tawuran. Akhirnya pada tanggal 29 Oktober pihak Inggris mendatangkan Soekarno dan Hatta untuk menjalin diplomasi.
Pada tanggal 30 Oktober di tanda tanganilah kesepakatan untuk damai, dan dihari itu pula Brigadir Jenderal Mallaby dibunuh. Peristiwa pembunuhan tersebut memang sangat mungkin terjadi. Karena gerombolan aksi massa tidaklah mengetahui bahwa sudah terdapat perjanjian damai.
Ada yang mengatakan pembunuhnya adalah santri Tebu Ireng yang bernama Harun. Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa pembunuhnya adalah Sholihin. Entah mana berita yang benar, tetapi yang jelas kematian Mallaby dikarenakan adanya tawuran.
Panglima tentara Inggris Letnan Jenderal Philip Cristison sontak marah setelah mengetahui kematian Mallaby. Ia mengultimatum, bahwa apabila sampai tanggal 9 November jam 18.00 sore pembunuh Mallaby tidak diserahkan dan bagi yang memegang senjata tidak juga menyerahkan, maka Surabaya akan di bombardir.
Pada waktu itu sudah disiapkan 7 kapal perang dihadapkan ke Surabaya. Meriam diturunkan spesial untuk menghancurkan bangunan-bangunan kota. Ditambah lagi pesawat tempur dan pesawat pembom disediakan untuk meluluh lantakan kota Surabaya.
Pada tanggal 09 November jam 16.00 sore KH.Hasyim Asy’ary pulang dari konferensi Masyumi di Jogjakarta dan mendengar berita itu. Kemudian beliau mengambil sikap untuk mengeluarkan fatwa jihad yang berbunyi bahwa fardlu ‘ain hukumnya bagi semua umat islam dengan radius 94 km untuk membela Surabaya.
Mendengar fatwa jihad dari Mbah Hasyim maka berduyun-duyunlah umat islam yang berada disekitar Surabaya. Bahkan yang lebih dari 94 km pun turut hadir setelah mendengar fatwa tersebut.
Bahkan dari Banten yang jaraknya kurang lebih 500 km pun datang untuk membela kota Surabaya. Jumlah yang banyak adalah dari hizbullah dan sabilillah lebih dari 10.000 orang dan dari Tentara berjumlah 1200.
Inggris menggunakan 5 orang jendral 2 diantaranya mati yaitu: pertama Mallaby sebagaimana yang sebelumnya telah diceritakan. kedua Roderseimen, ditembak oleh pak Gumbrek tepat di pesawatnya dan meledak.
Pada tanggal 2 Desember pasukan mundur ke arah wonokromo. Pada waktu malam menjelang pasukan masuk kota untuk melakukan gerilya. Lamanya pertempuran adalah 100 hari atau 3 bulan kemudian mundur ke arah Sidoarjo.
10 November yang kemudian dikenal hari pahlawan, tidak lain adalah akibat atau reaksi dari terbunuhnya Mallaby, yang mana telah terjadi pertempuran dari tanggal 26 sampai 29 Oktober.
Seluruh peristiwa berurutan, mulai dari pertanyaan yang di ajukan Bung Karno kepada KH. Hasyim Asy’ari yang kemudian ditetapkan resolusi jihad pada tangga 22 Oktober. Kemudian menjadi motivasi kepada arek-arek Suroboyo untuk menyerang pos-pos pertahanan.