Jenderal TNI (Purn) Ali Moertopo Melarang Keras Machiavellianisme, Mengapa Demikian?

ali murtopo
foto ali murtopo melarang machiavellianisme (Ilustrasi/Arif)

Frensia.id- Dalam tradisi politik Indonesia terminologi Machiavellianisme diartikan dengan pandangan yang sangat negatif. Disebut pula sebagai setan besar. Orang yang mengamalkan isme tersebut sedang melakukan dosa.

Hal ini selaras apabila kita membaca tulisan-tulisan Ali Moertopo, Machiavellianisme merupakan sesuatu yang amat terlarang.

Jenderal TNI yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan pada era orde baru tersebut mewanti-wanti agar tidak menganut pandangan Machiavelli.

Secara umum kata atau identitas Machiavelli tidak populer di tengah-tengah masyarakat, berbeda sekali dengan istilah komunisme dan marxisme, yang pernah menyejarah dalam batang tubuh kebudayaan Indonesia.

Machiavellianisme merupakan sebuah pandangan yang merujuk kepada seorang teoritisi politik dan diplomat asal Italia dengan nama yang sama, Niccolo Machiavelli (1469-1527).

Gagasan politik yang ia tuangkan dalam beberapa karyanya, memuat sebuah kesimpulan yang dimana mendapatkan penolakan atasnya.

Sebenarnya Machiavelli berbicara mengenai realitas politik secara faktual, bagaimana naluri manusia untuk selalu menginginkan kekuasaan yang abadi, memperoleh dan mempertahankannya dengan segala cara, upaya-upaya untuk membenarkan pengkhianatan dan sebagainya.

Itu semua memang benar-benar terjadi dan pengarang Il Principle tersebut menyampaikan secara apa adanya tanpa adanya aling-aling apapun yang membuatnya ragu.

Menjadi persoalan setelah buku yang dikarang selama tujuh tahun terhitung sejak 1512, dibicarakan dan mendapatkan interpretasi yang berkepanjangan, sampai akhirnya memperoleh satu garis lurus yang sama untuk mengidentifikasi pikirannya tersebut, yaitu adanya pemisahan antara moral dan politik.

Jauh sebelum Machiavelli lahir, Aristoteles dan Plato berbicara mengenai orientasi politik, dimana menurut keduanya adalah menuju kepada kehidupan yang baik. Sehingga dalam perjalanannya kesana para politisi mempunyai tugas untuk memastikan bahwa keadilan dan kesejahteraan benar-benar dapat dirasakan bersama oleh siapapun tanpa melihat status sosial, yang difasilitasi oleh kekuasaan.

Sedangkan Machiavelli berbicara tentang realpolitiknya, ketika para politisi memegang tampuk kekuasaan atau sedang mengejarnya justru kebalikan yang terjadi.

Pikira-pikirannya yang dianggap bahaya, Betrand Russel menyebut Il Principle adalah buku panduan untuk gangster, tersebut sebenarnya tidak sedikitpun memuat anjuran bagi pembacanya secara khusus untuk mengamalkan apa yang ia temukan dan amati pada abad 16, ketika republik Florence berada dalam genggaman kekuasaan keluarga Medicci.

Posisi Machiavelli memang benar-benar seorang teoritisi dan asumsi-asumsinya memang benar-benar berangkat dari fakta empiris yang terjadi kala itu dan era-era sebelumnya.

Menjadi problematik, setelah membaca karyanya tersebut, karena seseorang akan lebih cepat sadar mengenai bagaimana dunia politik beroperasi. Sehingga tidak perlu waktu lama seseorang bisa bertindak secara profesional, tanpa ragu dan gugup apabila bersentuhan atau terjun langsung. Karena posisinya adalah antara mengambil kesempatan dan mencapai tujuan atau tertipu dan menjadi pecundang.

Sebagai sesuatu yang dianggap berbahaya, Machiavelli juga mempunyai kontribusi dalam sejarah ilmu politik yang bisa dirasakan sampai hari ini. Gagasannya yang berdasarkan pada kondisi riil berkelindan dengan semangat renaissance yang mempunyai semangat untuk mengembalikan kejayaan Yunani.

Istilah republik yang sering didengar hari-hari ini, dalam perjalanan sejarah diskursus tersebut, tidak bisa dilepaskan dari sumbangsih Machiavelli, mengenai kebebasan, definisi korupsi dan bahayanya terhadap sesuatu yang publik.

Berbeda sekali dengan Il Principle, bukunya yang lain dan jarang dibaca berjudul Discourses On Livy membahas mengenai etika dan norma politik.