Frensia.id- Jurnalisme Riset merupakan awal mula kegiatan akademik menyasar dunia media. Dua dunia literasi yang berbeda ini, akhir-akhir mulai tak bisa dipisahkan.
Wendy Bacon dalam artikelnya di Australian Journalism pada tahun 2006, mengulas perjalanan panjang jurnalisme menuju penerimaan sebagai disiplin akademik yang dianggap setara dengan bidang lain dalam ilmu sosial dan humaniora.
Pengakuan ini memang datang dengan tantangan, terutama di Australia, di mana jurnalis dan pendidik jurnalisme pada awalnya merasa kurang dihargai dalam fakultas humaniora atau ilmu sosial.
Dalam beberapa dekade terakhir, meskipun posisi mereka perlahan membaik, masih ada dinamika kompleks yang memengaruhi penerimaan jurnalisme sebagai penelitian.
Menurut Bacon, perubahan ini tidak terjadi begitu saja. Gelar lanjutan, keberhasilan mendapatkan hibah penelitian, penerbitan buku teks, dan pengembangan jurnal yang ditinjau sejawat telah membantu menambah legitimasi akademis bagi pendidik jurnalisme.
Semua ini menjadi semacam “modal budaya” yang memperkuat posisi jurnalisme di dunia akademik. Namun, meskipun modal ini berhasil mendongkrak kredibilitas jurnalisme, jalannya tidak mudah. Australia mengalami apa yang disebut “perang media,” di mana pendidik jurnalisme berseteru dengan para ahli studi media yang sering mengkritisi praktik jurnalistik.
Banyak pendidik jurnalisme yang mempertanyakan pendekatan kritis dalam studi media yang dianggap terlalu jauh dari praktik lapangan, sementara mereka sendiri berjuang untuk mempertahankan relevansi praktik jurnalistik dalam pendidikan tinggi.
Perang media ini akhirnya mulai mereda, dan sejak pertengahan tahun 90-an, publikasi penelitian tentang jurnalisme mulai tumbuh secara konsisten. Namun, Bacon menyoroti konsekuensi dari perjuangan panjang ini.
Dalam pandangan Pierre Bourdieu, mereka yang berada di “pinggiran” suatu bidang cenderung mengadopsi aturan main yang berlaku di pusatnya.
Artinya, jurnalis yang dipaksa beralih menjadi akademisi sering kali menyesuaikan diri dengan pendekatan dan metodologi ilmu sosial yang konvensional, demi menyesuaikan diri dengan tuntutan akademik.
Akibatnya, banyak jurnalis yang akhirnya lebih berfokus pada penerapan metodologi ilmiah ketimbang mengembangkan praktik jurnalistik yang kritis dan kreatif.
Situasi ini menyebabkan adanya dilema di kalangan pendidik jurnalisme. Di satu sisi, mereka merasa tertekan untuk berkontribusi sebagai akademisi, dengan mempublikasikan penelitian dan mengajar metodologi sosial ilmiah.
Di sisi lain, fokus mereka pada metodologi konvensional dapat menghambat pengembangan praktik jurnalisme yang berpotensi lebih kaya dan bernuansa kritis.
Bacon berpendapat bahwa jurnalisme itu sendiri memiliki potensi sebagai bentuk penelitian yang unik, yang mampu menawarkan perspektif langsung pada isu-isu sosial tanpa dibatasi oleh aturan penelitian akademis yang kaku.
Maka, Bacon melihat kesempatan melalui Kerangka Kualitas Penelitian Australia yang baru. Ini bisa menjadi momen bagi akademisi jurnalisme untuk mengeksplorasi kembali jurnalisme sebagai bentuk penelitian independen, bukan sekadar cabang ilmu sosial yang mengadopsi metodologi konvensional.
Bacon menyarankan agar pendidik jurnalisme memanfaatkan kerangka ini untuk tidak hanya memperkuat posisi mereka di universitas, tetapi juga untuk memajukan praktik jurnalisme itu sendiri.
Dia menganggap bahwa penerapan pendekatan penelitian yang berbeda pada jurnalisme dapat memperkaya disiplin ini dan memberinya tempat yang lebih kokoh di dunia akademik.
Pada akhirnya, Bacon optimis bahwa melalui pengakuan yang lebih besar terhadap jurnalisme sebagai penelitian, baik jurnalis maupun akademisi dapat menemukan titik temu antara praktik lapangan dan penelitian ilmiah, sehingga menciptakan jurnalisme yang lebih reflektif dan terlibat dalam isu-isu sosial.
Pandangan ini berpotensi membuka jalan baru bagi jurnalisme sebagai disiplin yang bukan hanya mengamati, tetapi juga berperan aktif dalam membentuk wacana sosial.