Krisis Kepemimpinan Jelang Konferensi MWC NU Sumberwringin

Kamis, 2 Januari 2025 - 13:45 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh Masdidik Pembina PAC GP Ansor sumber Wringin

Frensia.id – Ada pertaruhan besar menjelang diselenggarakannya Konferensi Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Sumberwringin, Bondowoso pada 5 Januari 2025 mendatang, terutama dalam soal bursa calon yang akan disodorkan dalam forum ini. Pertaruhan itu terkait dengan isu yang sedang berkembang hari-hari ini, yaitu soal isu aklamasi.

Isu aklamasi ini penting untuk diangkat, sebab isu ini menyangkut soal apakah kader-kader MWC NU Sumberwringin benar-benar sedang krisis kepemimpinan; tidak punya banyak calon yang bermutu, yang memiliki sense of crisis, yang punya kemampuan membaca masa depan, atau memang kita dihadapkan dengan pola-pola lama? Meminjam istilah Franz Magnis Suseno; yaitu dihadapkan dengan “kuasa moral” satu-dua orang yang mampu melumpuhkan, menaklukkan, bahkan menerabas norma-norma manajemen dan kepengurusan organisasi yang selama ini mencengkeram di tubuh MWC NU Sumberwringin.

Apabila benar yang terjadi adalah krisis kepemimpinan, tidak ada yang berkualitas, tidak ada yang visioner, tidak ada yang progresif, maka inilah penanda bahwa MWC NU Sumberwringin telah gagal mencetak kader umat dan kader bangsa. Calon-calon pemimpin masa depan bangsa ini ternyata dicetak di tempat lain, bukan di tempat kaderisasi yang harusnya ideal. Sungguh sesuatu yang sangat disayangkan sekali.

Tetapi apabila terjadinya proses aklamasi karena alasan yang kedua, hal itu dapat dipastikan “kuasa moral” telah menjelma candu dalam organisasi. Fenomana semacam ini tentu sangat mengkhawatirkan apabila itu terjadi di tubuh MWC NU Sumber wringin. Semakin runyam tatkala para pemuda calon orbit masa depan pemimpin di NU Sumberwringin berasumsi bahwa NU Sumberwringin justru mengurung dirinya menjadi organisasi yang eksklusif, bukan organisasi yang inklusif untuk semua orang.

Karena praktiknya memang eksklusivisme, bahkan budaya paternalis-primordialistik terhadap satu-dua orang yang dianggap keramat pun masih kekal dan abadi. Jadi jelas bahwa praktik ‘aklamasi’ merupakan penjelmaan dari sikap feodal yang jauh panggang dari prinsip manajemen dan kepengurusan organisasi yang modern dan inklusif. Lantas bagaimana masa depan MWC NU Sumberwringin jida proses konfrensinya tidak transparan dan tidak inklusif pada seluruh kader demi melancarkan niat licik aklamasinya.

Baca Juga :  Koalisi Permanen, Jalan Terjal Demokrasi

MWC NU Sumberwringin merupakan salah satu besar wakil cabang terbesar di Bondowoso, pun demikian memiliki potensi kader yang luar biasa. Sangat tidak masuk akal jika calon ketuanya diproyeksikan hanya satu orang saja. Padahal saya melihat banyak sekali kader-kader muda yang cerdas, artikulatif, dan berwawasan luas yang bisa membangun peradaban demi kemajuan MWC NU Sumberwringin itu sendiri. Jangan sampai kita kehilangan regenerasi yang potensial ini karena kebebasannya mencari ruang untuk jadi pemimpin di belenggu sedemikian rupa melalui aklamasi.

Para kader tentunya harus percaya diri dengan kemampuan dirinya, bekal menjadi pemimpin jika mengambil dari pendekatan Antonio Gramsci hanya ada dua. Yakni, kita hanya butuh bekal kecerdasan intelektual dan moral. Bukankah dalam pengkaderan formal serta nonformal di NU kita sudah digembleng untuk menjadi pemikir (intelek) dan mengangungkan akhlak (moral) dalam segala aspek, apalagi hanya persoalan menjadi calon ketua Tanfidz MWC NU Sumberwringin. Siapapun dirinya, asalkan masih ber Aqidah sesuai Abu Hasan Al Asya’ri, Abu Mansyur Al Maturidi, ber Hukum sesuai dengan Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hambali serta bertasawuf dengan Imam Junaid Al Baghdadi dan Imam Al-Ghazali. Ketika memiliki kapasitas dan kualitas serta niat purifikatif menjadi pemimpin MWC NU Sumberwringin maka haram hukumnya niatnya hanya terjegal oleh kepentingan oknum-oknum yang mentauhidkan “kuasa moral”

Di sinilah pentingnya MWC NU Sumberwringin menjadi off taker, menjadi wadah bagi generasi yang potensial untuk menyalurkan bakat dan kemampuannya yang secara alamiah cenderung lebih bisa menangkap spirit zaman. Berilah mereka tempat untuk berkembang dan memengaruhi gerakan. Karena dengan menyingkirkan kaum potensial, kini sama saja dengan membatasi masa depan NU sendiri.

Karena itu, bargaining position NU sebagai organisasi yang terbuka harus dijaga bersama-sama. Jangan sampai bargaining itu bertolak-belakang secara diametral dengan prinsip-prinsip keterbukaan. Sementara aklamasi itu tidak terbuka, tidak transparan, tidak melalui tahapan fit and proper test. Artinya bila aklamasi itu terjadi, maka posisi tawar NU menjadi taruhannya. Bukankah Tuhan yang segala maha itu masih menjadikan malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu sebagai perantara kepada Nabi Muhammad SAW, lalu sehebat apa “kuasa moral” Itu jika terjadi di dalam tubuh organisasi MWC NU Sumberwringin, apakah hendak mengalahkan Tuhan, Naudzubillah

Baca Juga :  Menyoal Polemik Pencatatan Perkawinan

Jelas bahwa NU bukan organisasi milik satu-dua orang. NU adalah organisasi milik semua. Karena itu, jangan pernah memasung kebebasan kader untuk terjun sebagai calon kandidat ketua. Biarkan ruang kompetisi itu terbuka lebar tanpa perlu dipagari bayang-bayang aklamasi. Memang begitulah seharusnya potensi-potensi para kader diakomodasi dan dikelola secara sadar dan profesional supaya memberikan kontribusi besar bagi NU itu sendiri dan khususnya bagi bangsa dan negara.

Di tengah-tengah derasnya arus modernisme, NU harus menghargai kebebasan berpikir, menghargai kemungkinan-kemungkinan terbukanya ruang gerak generasi yang potensial untuk jadi alternatif pucuk pimpinan di tubuh NU sendiri. Kita jangan taken for granted terhadap generasi masa depan yang potensial justru harus percaya bahwa mereka memiliki the idea of progress untuk kepentingan MWC NU Sumberwringin ke depan.

Sekali lagi, NU bukan milik satu-dua orang. Karena itu, sistem aklamasi tidak cukup tepat untuk dipraktikkan di dalam Konferensi MWC NU Sumberwringin nanti. Itu praktik lama yang semestinya sudah kita tinggalkan sejak dulu. Hentikanlah praktik-praktik pemilihan yang tidak mencerminkan sikap yang demokratis. Berilah ruang bagi semua kader untuk berkompetisi bebas, war of position; perang posisi secara fair, objektif, dan adil.

Sebagai penutup, mari kita kembali kepada kaidah fikih yang sudah lama menjadi pegangan NU, Al muhafadhatu ‘ala qadimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah. Artinya, kita harus melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan masih relevan, dan melakukan inovasi serta mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik demi berlangsungnya kehidupan masa depan organisasi, bangsa, dan negara.

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Evaluasi Flyer Pemerintah di Website Media: Menimbang Maslahat dan Mafsadat dalam Komunikasi Publik
Menjaga Alam, Merawat Kehidupan
Koalisi Permanen, Jalan Terjal Demokrasi
Menyoal Polemik Pencatatan Perkawinan
Kampus Kebelet Kelola Tambang
Melongok Tantangan dan Harapan Program Makan Bergizi Gratis
Presidential Threshold, Akhir dari Siklus ‘Dia Lagi, Dia Lagi’
Serba-Serbi (Penghapusan) Presidential Threshold dalam Al-Qur’an

Baca Lainnya

Kamis, 20 Februari 2025 - 20:45 WIB

Evaluasi Flyer Pemerintah di Website Media: Menimbang Maslahat dan Mafsadat dalam Komunikasi Publik

Kamis, 20 Februari 2025 - 05:58 WIB

Menjaga Alam, Merawat Kehidupan

Selasa, 18 Februari 2025 - 11:53 WIB

Koalisi Permanen, Jalan Terjal Demokrasi

Selasa, 11 Februari 2025 - 16:14 WIB

Menyoal Polemik Pencatatan Perkawinan

Selasa, 28 Januari 2025 - 16:07 WIB

Kampus Kebelet Kelola Tambang

TERBARU

Kolomiah

Ramadhan, Setan Dipasung, Kenapa Maksiat Masih Subur?

Rabu, 12 Mar 2025 - 08:30 WIB

Kolomiah

Ramadhan dan Negeri yang Gemar Menunda

Selasa, 11 Mar 2025 - 12:23 WIB

Religia

Tiga Tingkatan Puasa: Syariat, Thoriqoh, Hakikat

Selasa, 11 Mar 2025 - 10:05 WIB