Frensia.id – Bagaimana mungkin sebuah pernikahan bisa sah secara agama tetapi tidak diakui oleh negara? Fenomena ini bukan sekadar anomali, tetapi realitas yang masih terjadi di Indonesia. Pernikahan tanpa pencatatan resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) terus menjamur, membawa konsekuensi hukum yang kompleks bagi pasangan dan anak-anak mereka. Lebih ironis lagi, negara justru mengakomodasi pernikahan yang tidak tercatat dengan memberikan dokumen kependudukan tanpa memastikan keabsahan hukumnya.
Dengan hanya bermodal Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM), pasangan yang menikah secara agama tetapi tidak mencatatkan pernikahannya di KUA dapat memperoleh Kartu Keluarga (KK) dan akta kelahiran anak. Kebijakan ini diatur dalam Permendagri Nomor 108 dan 109 Tahun 2019, yang memungkinkan administrasi kependudukan bagi pasangan yang pernikahannya belum tercatat. Namun, di balik kemudahan administratif ini, muncul permasalahan hukum serius.
Ketidaksinkronan antara administrasi kependudukan dan hukum perkawinan berisiko mengaburkan esensi keabsahan pernikahan itu sendiri. Negara tampak lebih mementingkan aspek legalitas administratif daripada memastikan terpenuhinya syarat sah perkawinan menurut hukum Islam dan hukum negara. Jika dibiarkan, hal ini berpotensi merusak tatanan hukum keluarga dan menciptakan ketidakpastian hukum di masyarakat.
Polemik ini tak luput dari perhatian Nahdlatul Ulama (NU), yang dalam Munas NU 2025 melalui Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah menegaskan urgensi penyelesaian masalah ini. Forum tersebut menyoroti bahwa dalam Islam, perkawinan bukan sekadar urusan administratif, melainkan bagian dari hifz al-nasl (menjaga keturunan), yang harus memenuhi ketentuan syariah. Dalam mazhab Syafi’i yang dianut mayoritas umat Islam Indonesia, perkawinan wajib memenuhi rukun yang meliputi sighat ijab-qabul, kedua mempelai, dua saksi, dan wali perempuan.
Kekhawatiran muncul ketika Dukcapil mencatatkan status perkawinan tanpa memastikan terpenuhinya syarat-syarat tersebut. Akibatnya, banyak pasangan yang telah memperoleh dokumen kependudukan seperti KK dan akta kelahiran anak, tetapi status pernikahan mereka tetap dipertanyakan oleh Pengadilan Agama. Hal ini menunjukkan adanya celah regulasi yang harus segera diperbaiki agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang berkepanjangan.
Dampak Sosial dan Hukum
Persoalan ini bukan sekadar administrasi, tetapi memiliki dampak luas secara sosial dan hukum. Tanpa kejelasan status pernikahan, hak-hak perempuan dan anak dalam hukum keluarga menjadi rentan. Dalam kasus perceraian atau kematian suami, istri yang pernikahannya tidak tercatat bisa kesulitan menuntut hak nafkah atau warisan. Begitu pula dengan anak-anak yang lahir dari pernikahan yang tidak sah secara hukum, mereka bisa menghadapi hambatan dalam pengurusan dokumen kependudukan dan hak waris.
Lebih jauh, kebijakan SPTJM yang terlalu longgar membuka celah bagi praktik pernikahan ilegal atau poligami tanpa izin. Seorang laki-laki bisa menikah tanpa mencatatkan pernikahannya di KUA, kemudian mengajukan KK melalui Dukcapil tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Ini jelas merugikan perempuan dan bertentangan dengan prinsip keadilan dalam keluarga.
Solusi yang Perlu Ditempuh
Untuk mengatasi persoalan ini, diperlukan langkah-langkah konkret yang melibatkan berbagai pemangku kebijakan: Pertama, Regulasi yang Lebih Ketat. Pemerintah perlu meninjau ulang regulasi terkait pencatatan perkawinan agar tidak terjadi tumpang tindih antara administrasi kependudukan dan hukum perkawinan.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah memperketat persyaratan penerbitan KK bagi pasangan yang belum memiliki akta nikah. Dukcapil seharusnya tidak mencatatkan status perkawinan tanpa bukti keabsahan dari Pengadilan Agama.
Kedua, Prioritas Isbat Nikah Sebelum Pencatatan Administratif. Komisi Bahtsul Masail NU merekomendasikan bahwa permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama harus menjadi langkah pertama sebelum pencatatan di Dukcapil.
Hal ini penting untuk memastikan bahwa pencatatan administrasi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Jika dalam proses isbat nikah ditemukan adanya kekurangan dalam rukun dan syarat perkawinan, maka pasangan harus melakukan nikah ulang dan mencatatkannya di KUA agar pernikahannya benar-benar sah secara hukum Islam dan negara.
Ketiga, Edukasi Hukum kepada Masyarakat. Masih banyak pasangan yang menganggap pencatatan pernikahan di KUA sebagai prosedur administratif semata, padahal ini menyangkut legalitas dan perlindungan hukum bagi pasangan suami istri serta anak-anak mereka. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi yang masif mengenai pentingnya pencatatan pernikahan sebagai bagian dari perlindungan hukum dalam keluarga.
Keempat, Sinkronisasi Antara Dukcapil dan Pengadilan Agama. Sistem pencatatan administrasi harus memastikan bahwa setiap pernikahan yang dicatat oleh Dukcapil telah memenuhi syarat sah perkawinan sesuai hukum Islam dan negara.
Oleh karena itu, diperlukan integrasi sistem antara Pengadilan Agama, KUA, dan Dukcapil agar pencatatan status perkawinan tidak hanya berbasis administrasi, tetapi juga memiliki dasar hukum yang jelas.
Dalam hal ini, keputusan Munas NU 2025 yang menegaskan prioritas isbat nikah sebelum pencatatan di Dukcapil adalah langkah yang tepat demi memastikan keadilan dalam pernikahan. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan berbasis hukum yang jelas, pernikahan dapat menjadi lembaga yang memberikan perlindungan dan kepastian bagi seluruh anggota keluarga.