FRENSIA.ID – Keadilan bagi SF (21), seorang mahasiswi korban pemerkosaan di Kecamatan Balung, Jember, terasa berjalan di tempat. Pelaku, SA (27), yang merupakan tetangganya sendiri, hingga kini masih bebas berkeliaran. Lambatnya penanganan aparat kepolisian di tingkat awal dinilai menjadi penyebab utama lolosnya pelaku dari jerat hukum.
Kasus ini menjadi cerminan nyata betapa Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang digadang-gadang sebagai payung hukum pelindung korban, belum sepenuhnya berjalan efektif di lapangan. Lambannya respons aparat membuat pelaku memiliki cukup waktu untuk melarikan diri, sementara korban dibiarkan hidup dalam ketakutan.
Peristiwa tragis ini terjadi pada Selasa (14/10/2025) dini hari. Pelaku diduga masuk ke kamar korban melalui jendela saat korban tertidur lelap. SF sempat melawan, namun pelaku mencekik dan memukulnya hingga babak belur. Di bawah ancaman pembunuhan, korban terpaksa menuruti kehendak bejat pelaku.
Upaya korban mencari keadilan menemui jalan terjal sejak awal. Laporannya ke kepala desa pada pagi hari justru direspons dengan saran untuk menyelesaikan masalah secara “kekeluargaan” melalui pernikahan dengan pelaku. Usulan yang melukai rasa keadilan itu mentah-mentah ditolak korban.
Barulah pada Rabu (15/10/2025), korban bersama kerabatnya memberanikan diri melapor ke Polsek Balung. Namun, penanganan yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang dengan cepat. Saat polisi akhirnya mendatangi rumah pelaku, SA telah lebih dulu kabur.
”Penanganan awal yang lamban membuat pelaku bebas bergerak dan kabur. Ini menciptakan ketakutan baru bagi korban yang masih tinggal di lingkungan yang sama,” tegas Ketua PC Fatayat NU Jember, Nurul Hidayah, usai mengunjungi korban, Senin (20/10/2025).
Nurul, yang turut mendampingi korban bersama LBH IKA PMII Jember dan Kopri PMII Jember, menyayangkan respons aparat yang tidak sigap. Menurutnya, dalam kasus kekerasan seksual, kecepatan adalah kunci untuk melindungi korban dan mengamankan pelaku.
”Undang-Undang TPKS sudah memberi landasan kuat. Tapi di lapangan, semuanya bergantung pada sensitivitas aparat. Pelaku seharusnya bisa diamankan dalam hitungan jam, bukan berhari-hari,” kritiknya.
Ia menambahkan, kelambanan ini menunjukkan absennya negara dalam menjamin keamanan korban sejak laporan pertama dibuat. “Bahkan untuk biaya visum, korban harus menanggungnya sendiri. Ini bukan hanya soal pelaku kabur, tapi tentang negara yang gagal hadir melindungi warganya sejak menit pertama,” lanjut Nurul.
Sementara itu, Pelaksana Harian Kapolsek Balung, Ipda Sentot, menyatakan pihaknya telah melakukan penyelidikan. “Sejak awal dilaporkan, pelaku sudah tidak ada di tempat. Kami sudah memeriksa korban dan saksi, serta meminta bantuan masyarakat jika mengetahui keberadaannya,” ujarnya singkat.
Kini, kasus tersebut telah ditarik ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jember. Tim pendamping hukum korban berharap penanganan di tingkat polres bisa lebih progresif. Mereka juga tengah berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memastikan korban mendapatkan perlindungan dan restitusi.
Publik menanti keseriusan aparat untuk segera menangkap pelaku dan membuktikan bahwa hukum tidak tumpul saat berhadapan dengan kejahatan seksual.