Frensia.id – Di Indonesia, Ramadhan bukan sekadar bulan suci. Ia adalah festival besar, serupa karnaval rohani yang diwarnai petasan, kajian dadakan, diskon baju koko, dan ajakan buka puasa di mana-mana. Bulan yang katanya penuh spiritualitas, tetapi nyatanya juga penuh dengan antrean panjang di warung makan menjelang Maghrib dan jalanan yang mendadak macet menjelang sahur.
Tapi di antara itu semua, ada satu hal yang tidak bisa dilewatkan: mudik.
Mudik adalah ritual yang lebih sakral dari sekadar pulang kampung. Ia semacam ibadah sosial, lebih utama dari sekadar puasa sunah di hari Senin dan Kamis. Seperti ada dalil tak tertulis: Barang siapa yang tidak mudik di hari Lebaran, maka derajat sosialnya akan turun di hadapan sanak saudara dan tetangga.
Namun, bukankah Ramadhan sendiri adalah mudik? Sebuah perjalanan pulang ke akar spiritual kita. Seperti pengembara yang lama tersesat dalam rutinitas dunia, Ramadhan datang sebagai jalan pulang menuju Tuhan. Bukan sekadar pulang ke kampung halaman, tetapi pulang ke hakikat diri yang lebih dalam—ditemani Tuhan di sepanjang perjalanan.
Mudik spiritual ini jauh lebih menantang daripada mudik fisik. Tidak ada rest area untuk sekadar ngopi atau bengkel untuk memperbaiki iman yang bocor. Tidak ada tol trans-spiritual yang bebas hambatan. Tetapi ada Tuhan yang selalu menemani, memberi petunjuk di setiap rambu-rambu kehidupan.
Perjalanan ini penuh ujian: menahan lapar di tengah godaan aroma ayam goreng, menjaga lisan ketika membaca status media sosial yang memancing emosi, serta menahan diri untuk tidak membeli baju baru yang sebenarnya tidak perlu. Tapi di balik semua itu, Tuhan tidak membiarkan kita sendirian. Setiap doa yang terucap, setiap sujud yang khusyuk, adalah tanda bahwa Tuhan tidak sekadar menunggu di garis finis, tetapi berjalan bersama kita, menuntun kita pulang.
Ada saatnya kita merasa lelah, ingin menyerah, atau bahkan merasa gagal di tengah jalan. Namun, sebagaimana seorang pemudik yang kehabisan tenaga tetapi tiba-tiba menemukan rest area, begitu pula dalam Ramadhan: Tuhan selalu menyediakan momen-momen kecil yang membuat kita bertahan—sebuah kehangatan dalam ibadah, ketenangan saat berbagi, atau ketulusan dalam setiap istighfar.
Mudik fisik bisa selesai dengan tiket pesawat atau kursi kereta eksekutif, tapi mudik spiritual? Perjalanannya panjang, jalannya berliku. Ada yang sampai dengan selamat di pangkuan Tuhan, ada pula yang nyasar ke pusat perbelanjaan.
Lalu, setelah sebulan penuh perjalanan ini, apakah kita benar-benar sampai di tujuan? Ataukah kita hanya menjadi musafir yang sekadar lewat, menikmati suasana Ramadhan tanpa benar-benar memahami maknanya?
Jika Ramadhan adalah perjalanan pulang, maka Idul Fitri bukan sekadar perayaan, tapi perhentian. Saatnya bercermin, apakah kita benar-benar kembali dalam keadaan fitri atau justru kembali ke kebiasaan lama, menumpuk dosa-dosa baru dengan dalih “nanti ada Ramadhan tahun depan?”
Pada akhirnya, seperti mudik fisik yang seringkali hanya ritual tahunan, perjalanan pulang ke Tuhan pun jangan sampai hanya sekadar seremonial. Sebab, apa gunanya perjalanan jauh jika akhirnya kita kembali tersesat di tempat yang sama?