Tapera dan Prioritas Nilai Esensial Kemanusiaan yang Harus Dipertimbangkan

Ilustrasi Keadilan (Sumber: Pixabay)

Kebijakan Tapera yang akan diberlakukan pada tahun 2027 ini menuai penolakan bagi mereka yang nantinya akan menjadi peserta. Hal tersebut kiranya cukup rasional, karena seseorang yang telah bekerja pasti tidak mau apabila hasil jerih payahnya dipungut dengan dalih apapun oleh pemerintah.

Sekalipun peserta yang dimaksud jelas bukan dari semua golongan melainkan berasal dari pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, seperti PNS, TNI, Pegawai ASN, pegawai BUMN, sebagaimana dalam pasal 7 UU No 25 Tahun 2020.

Menurut komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, menjelaskan program iuran Tapera ditujukan untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog, yang dilaporkan mencapai 9,95 juta anggota keluarga.

Bacaan Lainnya

Inisiatif tersebut mempunyai tendensi bahwa mereka yang memperoleh gaji berkecukupan harus memberi andil kepada sesamanya yang masih kekurangan, sebagai bentuk pemerataan kesejahteraan yang dikoordinir oleh negara untuk mengejawantahkan nilai keadilan.

Secara sepintas, apabila dilihat paradigma kebijakan tersebut atau yang lain dengan sample sama, memberi kontribusi untuk mempercepat apa yang hendak digarap oleh pemerintah, dengan memungut pajak dari rakyat yang berstatus sebagai pegawai dengan gaji lumayan tinggi.

Dimana jika hanya mengandalkan kemampuan dari keuangan negara maka backlognya akan terkejar, tetapi lama.

Sebagai sebuah strategi pembangunan nasional cara pikir demikian cukup efektif dan efisien, tetapi apabila dilihat dari sudut pandang lain, semisal status manusia sebagai subjek dalam komunitas yang disebut negara dan pertautannya dengan sistem politik berkeadilan, maka lain jadinya.

Menurut paradigma libertarian, manusia merupakan subjek bebas yang harus mendapatkan kesempatan untuk melakukan kreasi, rancangan dan memilih. Kesimpulan tersebut didasarkan pada konsekuensi logis dari premis bahwa manusia adalah makhluk berpikir.

Dari kemampuannya untuk berpikir, maka setiap manusia akan memiliki preferensinya sendiri dalam menentukan apa yang membahagiakan dirinya dan apa yang menurutnya baik.

Oleh karena itu, dapat dikatakan kalau rancangan rumah yang digagas oleh pemerintah tidak bisa diklaim mampu memenuhi nilai kebahagiaan dari masing-masing anggota keluarga. Bisa jadi sebagian keluarga akan berbahagia dan sebagian lagi tidak merasakan hal yang sama.

Hanya saja memberi peluang untuk meminimalisir nilai ketidakbahagiaan sebab tidak punya rumah, sehingga tidak bisa dikatakan mengikis dan menormalisir suasana tidak bahagia sebab tidak punya rumah secara mutlak.

Lain daripada itu, dari sudut pandang mereka yang dikenai potongan sesuai kebijakan pemerintah untuk menekan backlog dengan melakukan pemungutan pajak adalah upaya memanfaatkan peserta demi lancarnya pembangunan perumahan, yang menjadi program pemerintah.

Sekalipun pada dasarnya peserta notabene merupakan penerima upah, yang mana apabila dilihat dari sudut pandang kebutuhan dasar telah amat tercukupi, tetapi memposisikan mereka sebagai subjek di tengah-tengah komunitas atau negara sebagai alat adalah bentuk lain dari cara pemerintah kurang menghargai esensi kemanusiaannya.

Sebagaimana menurut pemikir Jerman, Immanuel Kant, ketika ia mencoba memperlihatkan status manusia yang nantinya akan membedakan dengan yang non-manusia, yaitu manusia yang rasional harus diperlakukan sebagai tujuan dalam dirinya sendiri dan bukan sebagai alat untuk mencapai sesuatu yang lain.

Hal ini menjadi fakta bahwa setiap manusia memiliki nilai tersendiri, terlepas bahwa mereka mempunyai keterkaitan antara pemenuhan kehidupan yang berasal dari negara, sebab menjadi aparat semisal.   

Oleh karena itu upaya pemotongan gaji sebesar 3% untuk tujuan kebijakan pemerintah, maka harus mempertimbangkan terlebih dahulu status esensial primer dari manusia baru kemudian dapat dilihat dari aspek skundernya, yaitu aparat.

Mendahulukan yang skunder daripada yang primer dalam kebijakan ini, sama halnya dengan memangkas rasionalitas dari subjek terkait.

Strategi pemerataan dan percepatan pembangunan yang digagas oleh pemerintah dalam hal ini mungkin saja memberi kontribusi kepada kepada sebuah tujuan yaitu rakyat yang belum punya rumah, tetapi tidak juga dengan cara menempatkan sebagian dari rakyat yang lain sebagai alat.

Lebih radikal lagi, sebenarnya kebijakan ini dapat dinilai bahwa pemerintah sebenarnya memanfaatkan satu elemen masyarakat, yaitu peserta Tapera, digunakan untuk mempertegas dan memperjelas status ketidakmampuan elemen masyarakat yang tidak mampu membeli rumah.