Frensia.id – Tuhan, setiap kali saya duduk di meja makan, selalu teringat pada ayah dan ibu. Mereka adalah Petani, memeras keringat di bawah teriknya matahari yang panas, di ladang yang tak kenal lelah.
Orang tua ku sebagai petani, sebagaimana petani pada umumnya, mereka tidak hanya memberi makan aku anaknya, saudaraku, tentanggaku, mereka juga memberi makan rakyat di negeri ini. Tanpa kerja keras mereka, mustahil bangsa ini dapat menikmati makanan di meja setiap hari.
Seperti pesan guru agama ku, setiap mau makan dianjurkan membaca doa : “Allaahumma baarik lanaa fiima rozaqtanaa wa qinaa ‘adzaaban nar”, aku tidak bisa berhenti berpikir tentang mereka, bahwa nasi yang hendak aku makan, hasil tangan para petani. Tuhan, Engkau yang memberi rezeki melalui tanah dan hujan, tapi ayah ibuku adalah tangan yang merawat dan menyampaikan rezeki itu pada rakyat di negeri ini.
Tuhan, di tengah berkah-Mu yang luas ini, ada yang terasa tidak adil. Negeri ini, belum seutuhnya memberikan kesejahteraan bagi mereka, padahal mereka bekerja keras untuk memberi makan rakyatnya.
Ayah dan ibu, sama halnya yang dialami banyak petani lainnya, masih bergulat dengan kemiskinan di tanah yang semestinya memberikan kemakmuran. Perangkat undang-undang pun sudah ada, seperti UU No. 19 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani. Tapi hingga hari ini keadilan mereka tak kunjung terwujud.
Tuhan, belakangan setelah aku mondok baru sadar pesan mendalam dari doa mau makan yang guru agama ajarkan dulu. Mengapa doa ini selalu menggunakan kata ganti “naa (نا)” atau kami. Dalam ilmu nahwu, kata pak kyai di pesantren “naa (نا)” menunjukkan makna kolektif.
Dalam konteks ini, doa ini mengingatkan bahwa setiap makanan yang dikonsumsi merupakan hasil dari usaha kolektif banyak pihak, termasuk ayah dan ibuku, petani. Dalam keadaan sendiripun saat makan berdoa mengunakan “naa (نا)”, penggunaan kat “naa (نا)” menunjukkan pengakuan atas peran kolektif itu.
Doa tersebut bukan hanya sekadar permohonan keberkahan, melainkan juga penghormatan dan apresiasi terhadap semua orang yang terlibat dalam proses produksi makanan, utamanya para petani. Namun, kenyataan pahitnya, meski petani merupakan penyuplai makanan kepada bangsa ini, mereka sendiri masih sulit untuk makan dengan layak.
Apa yang salah, Tuhan?
Petani, yang bekerja keras agar bisa menikmati keuntungan yang besar, sering kali tidak memperoleh hasil yang sebanding. Hasil panen yang mereka terima masih sangat rendah, sementara biaya produksi melambung naik. Ditambah tengkulak yang menjadi perantara mempermainkan harga, mengambil keuntungan besar di tengah penderitaan para petani.
Pada gilirannya, Tuhan, petani di negeri agraris ini yang bekerja dari pagi hingga malam harus memikul beban berat untuk sekedar bertahan hidup. Ayah ibuku dan para petani merasa gersang dari keadilan. Mereka tak berdaya menghadapi kepiluan ini.
Seolah ada jurang besar antara janji-janji yang tertuang dalam UU dan kenyataan di lapangan. Aturan yang ada hanya menjadi teks diatas kertas dan belum sepenuhnya terealisasi oleh mereka yang memiliki wewenang.
Tidak sedikit yang terjerat utang hanya untuk membeli bibit dan pupuk dengan harga yang begitu mahal, tak sebanding dengan harga hasil panen mereka. Petani terperangkap dalam lingkaran kemiskinan. Tuhan, mereka adalah pahlawan pangan bagi tanah air ini. Keadilan selayaknya yang Engkau janjikan dalam setiap rezeki-Mu masih terasa sangat jauh.
Tuhan, di negeri ini, petani dijuluki tulang punggung bangsa—tanpa mereka, makanan sehari-hari takkan tersaji. Namun, ironisnya, mereka tetap miskin di tanah yang mereka garap sendiri. Meski Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sudah ada, keberanian para pemangku kebijakan untuk mewujudkan keadilan bagi petani masih menyisakan tanda tanya besar.
Benarkah mereka sungguh-sungguh memperjuangkan keadilan bagi petani? Sampai kapan para petani, yang Tuhan tetapkan sebagai kepanjangan ‘tangan’-Nya dalam menyalurkan rezeki, harus menunggu untuk hidup sejahtera di tanah mereka sendiri?
Tuhan, ibu dan ayahku, seperti halnya petani lain, bekerja keras tanpa henti, dan Engkau pasti lebih mengetahui itu. Dengan harapan besar, mereka menanam, namun setiap panen justru kerap membawa kesedihan. Entah sampai kapan, petani yang Kau jadikan perpanjangan ‘tangan’-Mu untuk menyalurkan rezeki, bisa merasakan kesejahteraan di tanah mereka sendiri.*
*Moh. Wasik (Santri Dar Al Falasifah Institut, seorang anak petani desa)