Frensia.id– Kampus UIN KHAS Jember menjadi tuan rumah kegiatan Sosialisasi dan Advokasi Hasil Fatwa KUPI tentang perlindungan perempuan dari P2GP (Pemotongan/Perlukaan Genitalia Perempuan) yang membahayakan tanpa alasan medis. Kegiatan ini diselenggarakan oleh ALIMAT (Gerakan Kesetaraan dan Keadilan Keluarga Indonesia Perspektif Islam) dan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) serta didukung oleh UNFPA.
Kegiatan yang berlangsung pada Kamis (23/10) di gedung rektorat lantai I UIN KHAS Jember tersebut dihadiri oleh para akademisi perguruan tinggi Islam se Jember, aktivis perempuan, organisasi mahasiswa, dan lembaga keagamaan di Kabupaten Jember. Tujuan utama sosialisasi ini adalah memperkuat pemahaman masyarakat tentang bahaya praktik sunat perempuan. Selain itu, membangun strategi bersama dalam upaya pencegahan dan penghapusan praktik P2GP di Indonesia.
Dalam paparannya, Dr. Ade Jubaedah, Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia, menjelaskan bahwa sunat perempuan menimbulkan dampak serius bagi kesehatan.
“Sunat perempuan menimbulkan bahaya serius — mulai dari nyeri, perdarahan, dan infeksi jangka pendek, hingga kerusakan jaringan, gangguan seksual, dan trauma psikologis jangka panjang.” Paparnya
Namun, praktik ini masih banyak dilakukan karena adanya tekanan budaya dan tingginya permintaan masyarakat.
“Sayangnya, praktik ini masih banyak dilakukan karena tingginya permintaan masyarakat” Imbuhnya
Sementara itu, Dr. Iklilah dari SKSG UI mengungkapkan data mengejutkan: Indonesia menempati posisi ketiga jumlah kasus female genital mutilation (FGM) terbanyak di dunia setelah Mesir dan Etiopia. Ia ini juga menyoroti adanya kasus sunat perempuan massal di salah satu pesantren di Jawa Timur.
“Indonesia menempati peringkat ketiga jumlah kasus female genital mutilation (FGM) terbanyak di dunia, setelah Mesir dan Etiopia. Bahkan di salah satu pesantren di Jawa Timur pernah dilakukan sunat perempuan massal dengan kuota fantastis mencapai 250 orang, dan yang lebih mengejutkan, pendaftarnya justru melebihi kuota—termasuk pesertanya yang sudah lanjut usia.” Paparnya
Ketua ALIMAT (Gerakan Kesetaraan dan Keadilan Keluarga Indonesia) ini menegaskan maraknya praktik sunat perempuan di Indonesia tidak lepas dari pemahaman agama, budaya, dan seksualitas yang belum utuh dan berkeadilan.
“Ini disebabkan pemahaman tentang agama, budaya, dan seksualitas masih perlu diluruskan,” tegasnya.
Dari perspektif keagamaan, Dr. KH. Imam Nahe’i, M.H.I. dari Ma’had Aly Sukorejo Situbondo sekaligus anggota jaringan KUPI menegaskan bahwa praktik sunat perempuan tidak memiliki dasar kuat dalam ajaran Islam.
“Rasulullah SAW tidak pernah menyunat anak-anak perempuannya. Para ulama fikih memang berbeda pendapat, namun para mufti kontemporer seperti Syekh Ali Jum’ah dan Imam Besar Mahmud Syaltut menyatakan bahwa sunat perempuan hanyalah tradisi, bukan ajaran agama,” ujarnya.
KH Imam menambahkan, fakta bahwa Nabi sendiri tidak menyunat putri-putrinya adalah bukti kuat bahwa Islam menolak praktik yang membahayakan tubuh dan martabat perempuan.
Melalui kegiatan ini, KUPI dan ALIMAT berharap masyarakat — khususnya lembaga pendidikan dan keagamaan — dapat berperan aktif dalam mengakhiri praktik P2GP yang membahayakan. Sosialisasi ini sekaligus menjadi langkah penting dalam memperkuat komitmen bersama untuk melindungi hak dan kesehatan perempuan sesuai dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.