Frensia.id – Pilkada langsung telah menjadi bagian penting dari demokrasi Indonesia sejak diterapkan pada 2005. Namun, hari ini ada upaya untuk mengusik keberlanjutannya.
Dalam tulisannya di detikNews berjudul “Koreksi Pilkada Langsung, Mencegah Administrasi Pemerintahan Koruptif”, Bambang Soesatyo menyatakan bahwa Pilkada langsung, meski lahir dari semangat reformasi, justru telah menjadi akar berbagai masalah, terutama korupsi di pemerintahan daerah.
Ketua MPR RI ke-15 periode 2009-2024 itu mengkritik mahalnya biaya politik yang memicu politik uang, dari “serangan fajar” hingga pembelian suara melalui tokoh masyarakat. Ia juga menyebut Pilkada langsung sebagai investasi pribadi kontestan yang, setelah terpilih, hanya fokus pada pengembalian modal, sehingga menciptakan administrasi pemerintahan yang koruptif.
Bambang menyimpulkan bahwa Pilkada langsung gagal membawa manfaat signifikan dan perlu dikoreksi. Kesimpulan itu didasarkan pada data keterlibatan kepala daerah dalam korupsi serta kritik atas minimnya perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Namun, argumen ini perlu dikritisi karena tulisannya tidak hanya mereduksi dan menyederhanakan persoalan korupsi. Lebih dari sekedar itu, menempatkan Pilkada langsung sebagai kambing hitam atas kegagalan pengawasan dan penegakan hukum.
Pertama, menyebut Pilkada langsung sebagai akar korupsi adalah bentuk generalisasi yang tidak adil. Korupsi di pemerintahan daerah sudah terjadi jauh sebelum Pilkada langsung diterapkan. Dalam sistem Pilkada tidak langsung, di mana kepala daerah dipilih oleh DPRD, praktik suap justru lebih mudah terjadi karena hanya melibatkan segelintir orang.
Bukankah kita pernah mendengar kasus-kasus suap kepada anggota DPRD dalam pemilihan kepala daerah sebelum era Pilkada langsung? Menghapus Pilkada langsung hanya akan mengembalikan kita pada sistem lama yang lebih tertutup dan jauh dari kontrol publik.
Kedua, politik uang yang dikritik Bambang bukanlah masalah yang unik pada Pilkada langsung. Ia adalah penyakit demokrasi yang terjadi di berbagai level, termasuk pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Solusi untuk mengatasi politik uang bukanlah dengan menghapus Pilkada langsung, tetapi dengan memperketat regulasi. Selain itu, membatasi biaya kampanye, meningkatkan transparansi dana politik, dan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Ketiga, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar periode 2024-2029 itu gagal mengakui keberhasilan Pilkada langsung. Padahal, sistem ini telah melahirkan banyak pemimpin daerah yang inovatif dan berdedikasi tinggi. Banyak kepala daerah yang berhasil membawa perubahan signifikan di wilayahnya melalui Pilkada langsung. Menggeneralisasi bahwa sistem ini hanya melahirkan pemimpin koruptif adalah pengingkaran terhadap fakta tersebut.
Keempat, menghapus Pilkada langsung sama saja dengan mencabut hak rakyat untuk menentukan pemimpinnya. Ini adalah langkah mundur dari prinsip demokrasi yang dijamin oleh Pasal 18 ayat 4 UUD 1945, yang menegaskan pentingnya pemilihan langsung untuk menjamin kedaulatan rakyat. Reformasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata justru lahir untuk menghapus praktik-praktik oligarki dalam pemilihan pemimpin.
Bukan Pilkada langsung yang harus dikoreksi, tetapi mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang harus diperkuat. Korupsi yang dilakukan kepala daerah bukanlah konsekuensi dari sistem Pilkada langsung, melainkan dari lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.
Masalah mahalnya biaya politik dapat diatasi dengan membatasi pengeluaran kampanye dan memberikan sanksi tegas kepada pelaku politik uang. Selain itu, memperkuat pendidikan politik bagi masyarakat juga menjadi solusi penting.
Pilkada langsung adalah simbol kedaulatan rakyat. Ia memberikan harapan dan ruang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin terbaik mereka. Menghapusnya hanya akan memperbesar jurang antara rakyat dan pemerintah, menciptakan sistem yang semakin elitis dan jauh dari prinsip demokrasi. Jika ada kekurangan dalam pelaksanaannya, maka yang harus dilakukan adalah perbaikan, bukan pembongkaran.
Sebagai bangsa yang menghormati kedaulatan rakyat, mundur dari prinsip ini bukanlah pilihan. Pilkada langsung adalah bagian dari perjalanan demokrasi yang harus terus diperbaiki, bukan ditinggalkan. Aneh jika ada yang berpikir sebaliknya!*