Frensia.id – Siapa sangka Spider-Man, pahlawan super dengan pakaian merah biru ikonik, bisa menjadi bahan kajian filsafat yang mendalam? Jonathan J. Sanford bersama timnya membuktikan hal itu melalui buku Spider-Man and Philosophy yang dirilis pada 2012.
Buku ini membawa pembaca ke dunia filsafat yang dirangkai melalui aksi dan moralitas manusia laba-laba favorit kita.
Spider-Man bukan sekadar pahlawan yang memanjat gedung, berayun di antara bangunan, atau bertarung melawan penjahat.
Dia adalah karakter dengan kedalaman cerita yang membuat kita bertanya-tanya: Apa yang membuat Spider-Man begitu istimewa? Mengapa kisahnya tetap relevan sejak pertama kali diciptakan oleh Stan Lee dan Steve Ditko pada 1962 di Amazing Fantasy #15?
Jawabannya terletak pada kemanusiaannya. Peter Parker, alter ego Spider-Man, adalah gambaran dari banyak dari kita—seorang remaja yang bergulat dengan masalah hidup, menghadapi patah hati, dan berusaha mencari jati diri.
Namun, berbeda dari kita, dia memiliki kekuatan super, yang ironisnya justru sering memperumit kehidupannya. Peter adalah sosok yang merenungkan dirinya, selalu mencari jawaban atas pertanyaan moral dan etis yang mendalam.
Buku Spider-Man and Philosophy membawa pembaca untuk melihat berbagai sisi filsafat yang terinspirasi oleh perjalanan hidup Spider-Man. Filsuf dalam buku ini, sebagian besar adalah profesor perguruan tinggi, menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dari kisah Spider-Man.
Misalnya, apa arti menjalani hidup yang baik? Apakah kekuatan besar selalu membawa tanggung jawab besar? Seberapa jauh kita bisa menggunakan bakat untuk meningkatkan diri? Dan yang tak kalah penting, apakah hidup kita memiliki makna mendalam?
Jika Plato mendefinisikan filsafat sebagai cinta akan kebijaksanaan dan pencarian kebenaran, maka Spider-Man menjadi medium sempurna untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup.
Kehidupan Peter Parker penuh dengan dilema moral yang membuatnya berhadapan dengan kenyataan dunia. Ketika menghadapi musuh seperti Green Goblin atau Dr. Octopus, Peter tidak hanya bertarung secara fisik, tetapi juga merenungkan dampak tindakannya terhadap orang-orang di sekitarnya.
Buku ini juga menggali konsep tentang persahabatan, keluarga, dan tanggung jawab sosial. Dalam salah satu bab, penulis mengulas bagaimana hubungan Peter dengan bibi May dan sahabatnya, Harry Osborn, menjadi cermin tentang apa yang kita utang kepada orang-orang terdekat kita.
Di sisi lain, Spider-Man juga menghadapi kritik publik, mempertanyakan seberapa jauh kita harus membuka diri kepada dunia, dan apakah kita bertanggung jawab atas persepsi orang lain terhadap kita.
Yang menarik, buku ini tidak terlalu banyak membahas metafisika atau hal-hal abstrak. Sebaliknya, penulis lebih fokus pada pertanyaan-pertanyaan praktis yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti yang dulu pernah ditanyakan Socrates: “Bagaimana Anda akan menjalani hidup Anda?”
Membaca Spider-Man and Philosophy seperti terjebak dalam jaring intelektual yang penuh pemikiran baru.
Buku ini membuat kita melihat Spider-Man bukan hanya sebagai pahlawan super, tetapi sebagai refleksi diri—sebuah pengingat bahwa di balik kostum merah-biru itu, ada manusia yang berjuang seperti kita semua.
Bagi para penggemar Spider-Man, buku ini akan memberikan perspektif segar tentang pahlawan favorit Anda. Namun, lebih dari itu, buku ini juga menawarkan pembelajaran mendalam tentang filsafat hidup yang dikemas dengan cara yang menarik dan mudah dipahami.
Tidak peduli apakah Anda seorang filsuf, penggemar komik, atau hanya seseorang yang mencari inspirasi baru, Spider-Man and Philosophy adalah bacaan yang patut dipertimbangkan.
Jadi, jika Anda pernah bertanya-tanya tentang makna hidup, tentang apa yang benar dan salah, atau sekadar ingin melihat Spider-Man dari sudut pandang berbeda, buku ini mungkin jawabannya.
Seperti yang diajarkan oleh Peter Parker, “With great power comes great responsibility.” Mungkin, tanggung jawab terbesar kita adalah untuk merenungkan bagaimana kita hidup.
Penulis : Mashur Imam