Oleh: Mashur Imam*
Tulisan ini tidak untuk menghakimi dua lembaga besar yang didirikan para ulama’. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU) dihuni orang-orang alim yang hampir dipastikan memiliki sambungan keluarga pada guru-guru penulis atau juga mayoritas Ummat Muslim pulau Jawa. Tentu tidak elok, sebagai santri, penulis menghakimi dan menasihati alim ulama’ dari keluarga guru sendiri. Hanya saja, sebagai santri yang punya otak, rasanya perlu untuk ikut serta memahami realitas konflik yang hingga saat ini belum ada tanda-tanda akan berakhir.
Urgensi Memahami Ceruk Konflik PKB-PBNU
Ada beberapa pertimbangan kenapa ceruk konflik PKB-PBNU penting untuk diurai. Pertama, PKB menjadi satu-satunya partai tersisa yang memiliki historis dan membuka ruang besar peran tokoh dan kader NU. Walaupun sedang konflik dengan PBNU, PKB bukan berarti lepas dari peran kiai sepuh NU. Mulai dari pusat hingga kepengurusan di daerah, masih memaksimalkan peran Kiai-kiai NU sebagai lokomotif gerak politiknya.
Hal demikian tidak dapat disangkal, apalagi di beberapa kota, di Jawa Timur. Sejumlah kiai karismatik, seperi KH. Kholil As’ad di Situbondo, Gus Makki di Banyuwangi, Ra Fahmi dan Gus Haris di Probolinggo, serta sejumlah kiai besar lain asal Jombang, Pasuruan hingga Bangkalan Madura, masih berperan aktif membesarkan PKB. Mereka tentu juga ulama’-ulama’ besar NU yang memiliki peran penting dalam merawat dan membesarkan jam’iyah NU di daerahnya masing-masing.
Kedua, PBNU masih merupakan tempat berkhidmat para kiai untuk masyarakat. Tidak ada yang menolak, bahkan negara pun jika ingin besar, tidak layak merendahkan peran besar NU hingga saat ini. Besar perannya, tentu tak dapat dilepaskan dari lokomotif perjuangan keluarga-keluarga pesantren. NU hadir sebagai rumah berbaris kalangan pesantren untuk ikut berkhidmat pada negara. Walaupun historis berdirinya banyak dikaitkan dengan penjagaan keyakinan ahlisunnah wal jama’ah, namun jejak perkembangan peran barisan Kiai-Santri dalam memperjuangkan ketahanan solidaritas nasional hingga dewasa ini, tidak dapat ditolak.
Ketiga, konflik PKB-PBNU menandakan adanya keretakan barisan kiai pesantren. Karena kedua lembaga dihuni dan digerakkan oleh Kiai-kiai pesantren, maka banyak pihak melihat bahwa konflik keduanya juga menandakan pertikaian tokoh-tokoh pesantren. Klaim ini yang membuat penulis cukup menderita. Sebagai santri, tentu tak rela, jika guru-gurunya dianggap tidak mampu berbaris lagi demi masyarakat.
Untuk itu, sangat penting memahami ceruk konflik yang sedang terjadi di antara dua lembaga besar rintisan para ulama’ pesantren ini. Konflik tak pernah terjadi dalam ruang hampa. Selalu ada motif dan alasan mendasar yang berlawanan dalam setiap konflik, termasuk pertikaian PKB-PBNU dewasa ini.
Ceruk konflik adalah lubang dimana pertikaian tumbuh atau berkembang biak. Jika dianggap relasi PKB-PBNU sangat kuat bagai tembok yang kokoh, maka keberadaan ceruk dapat diasumsikan sebagai celah yang dapat memperlemah ketahanannya. Penyebabnya tentu banyak dan kompleks, bisa karena terbentuk secara alami karena cuaca atau juga karena komponen bangunan yang tak presisi. Apapun penyebabnya, sebenarnya tidak penting karena tidak ada tembok yang benar-benar kokoh sempurna. Semua ceruk dapat diatasi, jika hanya diketahui oleh internal pemiliknya. Yang menjadi masalah, jika ceruk lebih dahulu atau telah diketahui tetangga dan pihak luar yang berniat buruk. Tentu, bagi mereka ceruk merupakan peluang untuk melemahkan PKB-PBNU. Karena urgensi demikian, memahami ceruk merupakan pangkal dari upaya membangun kekuatan tembok yang sedang melemah.
Ceruk Awal PKB-PBNU
Lantas bagaimana dengan ceruk kekuatan relasi PKB-PBNU berawal? Tanpa memakai teknologi canggih, sebenarnya sejak awal mudah terbaca. Apalagi memang perdebatan telah biasa dalam budaya berjam’iyah di pesantren. Sampai ada pelesetan terjemah wallahul mu wafifiq ila aqwa thoriq dengan “tak ada konflik, tak menarik”. Tokoh-tokoh pesantren seolah telah biasa berkonflik pandangan. Dapat dikatakan, bagi masyarakat pesantren ceruk perbedaan bukan lagi kelemahan dalam menjaga kokohnya barisan. Bahkan budaya ini didukung dengan dalil al iktilafu ummati rahmatun(perbedaan adalah Rahmat).
Budaya berbeda pandangan ini, awalnya tak jadi masalah. Malah memang menjadi rahmat yang membuka ruang gerak perkembangan gagasan pesantren lebih terbuka dibanding dengan pendidikan agama lain. Begitu pun dengan NU dan PKB, sama terbuka pada perbedaan dan mudah memadukan semangat agama dan budaya di Indonesia. PBNU menjadi martir kekutasan agama yang harmonis yang kemudian dikenal sebagai gairah gerak “Islam Nusantara”, sedangkan PKB menjadi partai agama yang paling inklusif dalam melaksanakan siyasahnya.
Sebenarnya, NU dan PKB sejak awal telah berhasil mengelola ceruk menjadi rahmat dalam budaya peran barisan warga pesantren. Penulis ingat betul pada ceruk awal perbedaan-perbedaan era awal PKB didirikan oleh tokoh-tokoh besar NU. Salah satunya, dapat dilihat dari kolom KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang berjudul “Bila Kiai Berdebat”.
Pada artikel yang terbit 1981,Gus Dur banyak tentang fenomena perdebatan awal pendirian PKB. Bahkan di beberapa esai yang lain, secara spesifik, ia pernah menyebut ada Kiai yang lebih baik mengabadi di NU saja, karena tidak cocok dengan politik PKB. Banyak artikelnya, yang mengindikasikan perbedaan tidak pernah jadi ceruk yang membahayakan bahkan bisa jadi rahmat.
Ceruk Saling Gugat
Momen ceruk jadi saling gugat terjadi pada awal kepemimpinan Muhaimin Iskandar di PKB. Kala itu cak Imin dianggap menyerobot Gus Dur. Konflik ini cukup melemahkan hubungan PKB dengan PBNU. Untungnya, KH Aqil Siradj cerdik dalam memeluk tokoh-tokoh PKB, sehingga konflik mereda dan relasi menguat. Walaupun tak dipungkiri, ceruknya masih ada, namun dapat dikelola tak sampai dipakai oleh pihak yang tidak suka pada NU dan PKB. Dapat dibilang Elit PKB dan PKB dapat mengelolanya dengan baik.
Sayangnya, hal tersebut tak bertahan lama. Di Era Gus Yahya saat ini, ceruk berkembang secara sporadis. Bahkan ada kemungkinan diperburuk dengan masuknya pihak luar yang mengambil kesempatan masuk dalam ceruk tersebut. Salah satunya, kala memasuki momentum Pilpres kemarin. Perbedaan argumentasi tak lagi dapat dikelola sebagai rahmat, namun jadi dasar untuk saling gugat. PBNU didorong sejumlah pihak untuk kuat memihak salah satu calon di luar PKB, padahal Cak Imin sedang maju sebagai wakil Presiden. Pada situasi, ceruk relasi PKB-PBNU semakin menganga. Gus Yahya tak segan-segan menyindir PKB, begitu pun dengan Cak Imin.
Ketegangan yang terus meningkat membuat ceruk relasi tak bisa lagi dikelola. Banyak pihak yang mengambil kesempatan dalam tensi konflik yang semakin meningkat. PKB-PBNU pun saling serang. Bukan hanya adu argumentasi, kedua kubu saling melemahkan. PKB diduga memainkan dewan legislatifnya untuk memperlemah kubu Gus Yahya yang ada di Kemenag. Sedangkan, PBNU melakukan serangan balik dengan berusaha mengakuisisi partai berlogo bumi ini dengan dalih ingin memperbaiki, bahkan hingga mengganggu muktamar PKB di Bali.
Tampaknya serangan balik PBNU tak berhasil. Pasca Cak Imin terpilih kembali sebagai ketua umum PKB, ia berpidato secara lantang bahwa “tak ada kader NU yang pengecut”. Pernyataan ini diduga ditujukan pada Elit PBNU yang mengganggu jalan muktamar PKB. Yang menarik, ternyata tidak hanya saling gugat. Cak Imin yang sejak awal merasa diganggu tampak menancap gas serang balik juga. Diberitakan, ada 2 tokoh jejaring elit PBNU yang terpilih sebagai DPR RI melalui PKB tak jadi dilantik karena dipecat partai.
Gus Gufron Siradj yang merupakan Aspri Gus Yahya dan Gus Irsyad sebagai adik Kandung Gus Ipul, PBNU, tak digagalkan jadi DPR RI. Mereka dipecat PKB dengan dalih tidak mematuhi amanah dan aturan internal. Dari sejumlah informasi yang sangat takut untuk disebutkan, keduanya diduga terindikasi tidak mendukung rekomendasi Partai dalam Pilpres kemarin. Apapun alasannya, yang pasti, keduanya tidak terima dan melaporkan Cak Imin melanggar demokrasi dan dianggap tidak menghormati suara rakyat.
Hingga tulisan ini disusun, masih tak ada tanda-tanda kedua lembaga akan berdamai dan bersama membangun ceruk yang baik kembali. Mungkin hanya, KH Mustofa Bisri yang berusaha mengelola ceruk dengan baik. Gus Mus berusaha memperlemah konflik dengan mengatakan bahwa tak ada ceruk PKB-PBNU, semua hanya perdebatan Cak Imin dan Gus Yahya yang “kebablasan”.
Sebenarnya, pernyataannya ini cukup mendinginkan hati kader NU di daerah-daerah seperti penulis sendiri. Hanya saja, kembali memanas, mungkin karena “yang bertikai tak merasa dinasihati”.
- Penulis adalah Penanggung Jawab Dar Al Falasifah Institute, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Cendekia Insani dan Sekretaris Umum Lakpesdam PCNU Jember
- Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, Redaksi Frensia.id tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini.