Fiqh Oposisi : Idealitas Dan Fenomena Paradoks

Frensia.id – Pasca Mahkamah Konstitusi yang dianggap sebagai ‘suara tuhan’ memutus pasangan 02 menjadi pemenang pilpres, wacana oposisi kembali mencuat.

Khususnya partai yang dinilai dengan kalkulasi kemungkinan besar tidak akan bergabung dan memilih menjadi partai oposisi, hari ini PDI-P dan PKS misalnya.

Sebagai oposisi oleh beberapa pengamat dinilai sebagai cheks and balances dan anggapan tersebut sebagai sesuatu yang ideal.

Bacaan Lainnya

Jika memang demikian adanya, oposisi dalam Islam tentu sangat dianjurkan. Dalam kaidah fiqh seringkali diingatkan dengan kaidah yang menyebutkan “Kebijakan imam/pemerintah bagi rakyat harus bersandar maslahah”

Kebijakan yang maslahah mengandung tanggung jawab didalamnya, keadilan, kebenaran, amanah dll. Kesemua itu tentu butuh kontrol dari pihak manapun.

Seakan sudah menjadi tradisi biasanya yang mengkontrol tanpa ada rasa sungkan dan takut adalah pihak merasa dirinya sebagai lawan atau oposisi.

Jika teman koalisi alih-alih menyalahkan, mengingatkannya pun akan sungkan bahkan takut. Itulah oposisi sangat idel keberadaannya.

Oposisi : ‘Juru Selamat’

Oposisi pemerintah idealnya tidak diposisikan dan tidak pula memposisikan dirinya sebagai ancaman keutuhan negara, melainkan hanya sebagai kontrol pemerintah.

Oposisi tidak seharusnya diposisikan sebagai golongan yang hina, pemberontak yang sering kali dilabeli stigma narasi negatif.

Justru mereka ditempatkan sebagai ‘juru selamat’ agar pemerintahan tidak dijalankan seenaknya tanpa kontrol. Islam justru menempatkan dan mengkonfirmasi adanya oposisi ini sebagaimana terekam dalam Q.S Ali Imron: 104

“Dan hendaklah di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar”

Disinilah penting kiranya ada seperangkat pengetahuan yang mengulas hal ihwal tata cara menjadi mengenai oposisi, urgensi oposisi dan cara menjadi oposisi yang bijak. Penulis menyebutnya dengan istilah fiqh oposisi.

Fiqh Oposisi

Term oposisi dalam kamus besar Indonesia diartikan sebagai partai atau pihak penantang dalam dewan perwakilan. Salah satu tugas pokoknya menyampaikan kritik konstruktif dan saran transformatif bagi pemerintah dan itu sudah digaransi didalam negara yang mengaku drinya negera demokratis.

Adapun kaifiyah menjadi oposisi sudah terakam dalam Q.S Ali Imron: 104 sebagai pijakannya.

Terdapat tiga poin tatacara oposisi menempatkan dirinya sebagai kontrol pemerintah.

Pertama, ia menyandang tugas “menyeru kepada kebajikan”. Tugas oposisi pada aspek ini menyampaikan kritiknya dengan penuh kebajikan. Rasional, logis dan mengadung maslahat.

Kedua, menyeru yang makruf. Hamka dalam tafsir al-Ahzar menekankan pentingnya sekelompok yang berani bersuara dan mengajak kebaikan. Dadam konteks oposisi, ia adalah pihak yang harus berani menyampaikan kebaikan. Tentu harus disampaikan dengan baik atau makruf pula.

Ketiga, mencegah yang mungkar. Pihak oposisi harus berani mengcounter upaya penindasan dan kedzaliman pemerintah. Ia harus membangun narasi dan agitasi untuk mengingkari kemungkaran oleh pemerintah.

Dalam konteks ini Hamka dalam tafsir Al-Azhar mengutip sebuah hadis “ sebaik-baik jihad adalah menyuarakan keadilan dihadapan penguasa dzalim.”

Idealitas tersebut terkadang bergeser pada fenomena paradoks. Kerap kita disajikan oleh pihak oposisi (oknum) dimana kritik dan sarannya tidak disadari pijakan diatas. Paradoks, kritik yang diutarakan seakan sebagai upaya perbaikan, namun justru sebagai ujaran kebencian.

Fenomena paradoks ini harus diakhiri, selain karena tidak dilandasi nilai juga cenderung mengundang legitimate negatif bagi pihak oposisi.

Alhasil. Jika keberadaan oposisi memberikan kemaslahatan dan kebaikan bagi pemerintah (baca: Negara), maka keberadaan oposisi wajib hukumya bagi suatu pemerintah. Sebagaimana kaidah fiqh “Ma laa Yatimmul Wajib illa Bihi Fahuwa wajib”