Frensia.id – Ulama/Pemuka agama dan penguasa dua entitas yang berbeda, keduanya kadangkala bersikap saling menguatkan namun juga bersifat kritis.
Abdul Jawad Yasin dalam al-Sulfah fi-Islam, M. Abid al-Jabiri dalam al-Aql al-Siyasi al-‘Arabi dan Samuel Englad dalam Medieval Empires and Culture of Competion, sebagaimana dikutip oleh Hijrian Angga dalam Disertasinya mengungkapkan hubungan antara ulama dan penguasa dapat bersifat afirmatif.
Namun, hubungan keduanya juga dapat bersifat kritis.
Bersifat afirmatif karena penguasa akan mendapatkan legitimasi kegamaan sementara ulama atau pemuka agama memperoleh dukungan politik.
Namun, relasi keduanya juga bersifat kritis, ulama yang bersikap berbeda dan berada diluar lingkaran kekuasaan, pada posisi ini ulama atau pemuka agama sebagai pengkritik penguasa — atas kebijakan yang menabrak hak dan tidak afirmasi kemanfaatan — dengan fatwa dan wacana kegamaan.
Kaitannya dengan Izin Tambang Ormas Keagamaan yang per hari ini masih menjadi perbincangan, pemberian izin tambang tersebut sebagai dinilai konsesi politik untuk membangun relasi dan afirmasi Kekuasaannya.
Pemberian konsesi tambang dinilai memberikan suplai pengaruh politik. Apalagi di negara- populasi religius yang besar seperti Indonesia, ormas keagamaan memiliki suntikan signifikan terhadap opini publik.
Pemberian izin tersebut bisa menjadi strategi bagi pemerintah untuk terus mendapatkan legitimasi dari kelompok agama, sekalipun lengser dari kursi jabatannya.
Pertimbangan lain yang tidak kalah penting dari konsesi tambang ormas keagamaan ini layaknya sebagai benteng, pelindung diri dari gelombang penolakan akibat kerusakan lingkungan dan sosial.
Seperti jamak diketahui, aktivitas pertambangan kerapkali berdampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat setempat.
Jika ormas keagamaan terlibat dalam kegiatan ini, mereka bisa menghadapi kritik jika tidak mampu mengelola dampak negatif tersebut dengan baik. Basis massa yang luas dan loyal memiliki pengaruh besar dapat mengurangi potensi konflik dan protes sosial.
Konsesi tambang sebagai piranti untuk memastikan ormas keagamaan membantu pemerintah dalam mobilisasi massa untuk meng-iya-kan dan mendukung kebijakan atau program pemerintah termasuk eksploitasi tambang, yang pada gilirannya memperkuat posisi pemerintah.
Konsesi tambang ormas keagamaan ini sebaai relasi dan afirmasi politik kekuasaan adalah salah satu realitas yang menunjukkan temuan dari disertasi Hijrian Angga.
Dalam penelitiannya, Hijrian Angga menyimpulkan ulama (baca : Pemuka agama) yang berpihak pada pemerintah akan memberikan legitimasi keagaman melalui penafsiran terhadap teks-teks hukum untuk menyokong pihak yang berkuasa.
Pada saat yang sama, ulama/pemuka agama yang memposisikan sebagai resisten terhadap penguasa akan mendelegitimasi pihak yang berkuasa melalu pola yang sama. Teks hukum sebagai negasi atas kebijakan penguasa.
Ulama/pemuka agama yang berada dalam lingkar kekuasaan politik akan secara terbuka membela keberadaan pihak yang berkuasa, sedangkan ulama dari luar kekuasaan politik akan secara terbuka juga melakukan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan politik yang diterapkan oleh penguasa.
Pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan yang dinilai sebagai konsesi politik ini seyogianya ada pengawasan dan transparansi untuk memastikan bahwa praktik tersebut dilakukan secara adil dan bertanggung jawab, tanpa merugikan kepentingan publik atau lingkungan.
Pada sisi yang lain penting bagi ormas keagamaan yang menerima konsesi tambang ini untuk terus bersikap kritis pada hal-hal kebijakan yang tidak sejalan dengan kemanfaatan dan kepentingan hajat hidup orang banyak. (*)
*Moh. Wasik (Penggiat Filsafat Hukum dan Anggota Dar Al Falasifah)