Mengapa Hantu di Indonesia Mayoritas Berbusana Putih? Begini Menurut Pakar Antropologi

Ilustrasi Hantu di Indonesia Berbaju Putih (sumber;Istimewa)

Frensia.id- Setiap pelosok daerah di penjuru dunia pasti mempunyai sebuah standar kebudayaan tersendiri, yang mana didalamnya diatur sebuah tata nilai dan tersimbolkan dalam ranah sosial, termasuk perihal rasa takut. Pada konteks ini simbol paling signifikan untuk merepresentasikan ketakutan dalam diri manusia adalah hantu.

Menarik untuk kita lihat, terdapat kesepakatan secara subtansial dari definisi hantu yang diterima oleh masyarakat dari berbagai lapisan kebudayaan di dunia, yaitu intinya adalah sosok berkesadaran diluar diri manusia yang bersifat non-fisik (tidak dapat diakses secara ilmiah). Apakah kemudian ia berupa roh orang yang meninggal atau berasal dari kalangan jin itu persoalan lain dalam menarik kesimpulan dari asumsi yang disodorkan oleh peradaban.

Oleh karena itu, beberapa negara mempunyai hantunya dengan kisah seramnya masing-masing. Semisal China, mempunyai hantu Jiang Shi, sosok hantu dengan menggunakan pakaian dinasti Cing, wajah yang membusuk dengan gerakan melompat-lompat. Irlandia mempunyai hantu yang dikenal dengan sebutan Bean Si yang berarti wanita dari dunia peri, sosok wanita misterius pembawa kematian. Abad pertengahan juga mempunyai hantu populer dikenal sampai hari ini, yaitu Drakula, sosok laki-laki dengan taring panjang yang aktivitasnya adalah menggigit manusia tepat dilehernya.

Bacaan Lainnya

Mengapa setiapa daerah mempunyai hantunya masing-masing? Hal ini tidak lain disebabkan setiap manusia dari berbagai penjuru mempunyai proyeksi akan ketakutannya masing-masing. Tidak hanya berpatokan pada dimensi ruang, dimana ketakutan itu muncul dan disebarkan. Bahkan dalam satu wilayah menjadi mungkin ada perubahan dan pergeseran dari penampakan para hantu itu sendiri. Hal ini yang terjadi di Indonesia dan juga dibeberapa seantero dunia.

Di Indonesia pada era jauh kebudayaan Islam mendominasi dan sebelum iman Islam banyak dianut oleh masyarakat, tepatnya pada era kerajaan Hindu-Budha, seperti zaman Majapahit, Mataram kuno, Sriwijaya dan sebagainya. Hantu yang menampakkan diri pun berbeda, kala itu yang populer tercatat dalam naskah Kakawin Sena’ anatara lain Butha Dengen memiliki wujud tidak memiliki suara seperti burung malam, Banaspati, Kamangmang dan Badhalungan memiliki wujud kepala api.

Lantas entah kenapa di era sekarang hantu-hantu tersebut mayoritas bergeser mengenakan busana putih? Entah abad ke berapa, akan tetapi bisa diasumsikan ketika masuh kebudayaan baru yang ditandai dengan era dominasi masyarakat yang beragama Islam. Kemudian kita mengenal hantu seperti pocong, kuntilanak, wewe gombel, sundel bolong yang mana seluruhnya sering menampakkan diri dengan menggunakan busana putih.

Hal tersebut dapat kita lacak dari bagaimana cara hantu berkesistensi dalam alam pikir manusia, sebagai wujud paling konkret dari ketakutan. Dengan demikian ketakutan sebagai sifat abstrak mampu tersimbolkan lewat hantu, salah satunya.

Secara kronologis, pikiran manusia mendapatkan rangsangan ketakutan paling nyata adalah dari fenomena kematian orang lain. Sesuai pemahaman yang telah lumrah, bahwa manusia mempunyai dimensi rohani dan jasmani.

Ketika seseorang meninggal tubuhnya akan bersama tanah dan rohnya tidak akan ada yang tahu. Kenangan terakhir melihat orang meninggal adalah tubuh yang dibungkus dengan kain kafan berwarna putih. Hal ini yang dilakukan oleh umat Islam dan berbeda dengan apa yang dilakukan pada era Hindu-Budha.

Kesan terakhir adalah melihat kain kafan berwarna putih itu sendiri lantas merasuk ke alam bawah sadar bercampur dengan perasaan akan kerinduan, kejahatan dan kebaikan dari sosok yang meninggal. Rasa yang tersisa dan terus tumbuh akan terus singgah di alam bawah sadar dan itulah yang disebut dengan ketakutan berdasarkan asumsi-asumsi dari lingkungan sekitar yang terberi secara taken for granted.

Sebagai suatu yang abstrak maka ketakutan membutuhkan aktualisasi dirinya dalam bentuk yang nyata, yaitu hantu berbusana putih seperti pocong, kuntilanak. Teori ini selaras dengan apa yang terjadi pada era sebelum Islam, ketika masyarakat Hindu mempunyai ritual Ngaben, yaitu membakar orang yang meninggal, hantu yang diproduksi oleh kebudayaan adalah hantu berwujud api, sebagai telah disebut yaitu Banaspati.

Jadi hantu yang diproduksi oleh kebudayaan adalah berdasarkan ketakutan yang mengadopsi asumsi-asumsi dari tata nilai lingkungan sekitar. Kesimpulannya, hantu adalah proyeksi ketakutan dari alam bawah sadar seseorang, hal inilah yang memberi kemungkinan penampakan dari makhluk ghaib tersebut tampil dengan busana yang berbeda-beda.