“The location of Alas Bayur Village, which is far from the Puskesmas and facilities and infrastructure that are still difficult, causes the number of births in this village to tend to be low” _Akademisi UNEJ
Frensia.id- Teliti Alas Bayur, Situbondo, tim peneliti dari Univeristas Negeri Jember (UNEJ) pernah rekomendasikan akses layanan kesehatan. Hal demikian dilakukan saat mengkaji data geografis sejumlah daerah di kecamatan Mlandingan.
Sebagaimana diberitakan Frensia.id sebelumnya, Alas Bayur adalah merupakan salah satu yang disebut-sebut sebagai puncak kabupaten Situbondo. Wilayah ini memiliki kondisi alam yang eksotis.
Setiap sisi, secara geografis menawarkan eksotisme alam yang indah. Ada banyak daerah yang memiliki potensi untuk dijadikan aset wisata.
Namun bukan hanya indah, daratannya hanya terdiri dari lereng, bukti dan pegunungan. Jadi nyaris tak ada, daratan yang datar.
Transportasi umum sebab seluruh wilayah berada jauh dari jalan utama lalu lintas. Bahkan tidak hanya itu, pasokan listrik masih terbatas, maklum listrik baru masuk beberapa tahun terakhir.
Selain itu dari pantauan Frensia.id, pusat pemerintah desa berada di puncak gunung. Untuk berkunjung ke pusat pemerintahannya, perlu menaiki naik turun gunung.
Walaupun kondisi jalannya telah di aspal dan sebagian di paving, kondisi yang amat curam tidak memungkin sembarang orang dapat berkunjung ke desa ini.
Hal demikian yang juga disebutkan menjadi kendala akses fasilitas umum dari pemerintah sangat rendah di Ala Bayur. Utamanya, akses layanan kesehatan.
Sejumlah akademisi UNEJ, yang berasal dari fakultas Geography Education Study Program, pernah fokus mengkaji data geografis Alas Bayur. Mereka adalah Sofi Chorina Ramadhani, Sri Astutik, Fahrudi Ahwan Ikhsan dan Era Iswara Pangastuti.
Dalam penelitian yang telah terbit pada Majalah Pembelajaran Geografi tahun 2020 lalu, mengurai data-data geografis untuk memberikan rekomendasi strategi pengembangan masyarakat. Fakta yang mereka ungkap cukup mengkhawatirkan.
Salah satu yang diungkap adalah membandingkannya desa Silomukti yang sama-sama ada di Kecamatan Mlandiangan. Menurut mereka, angka kelahirannya sangat timpang.
Selomukti memiliki angka kelahiran cukup tinggi, sedangkan Desa Alas Bayur sangat rendah. Yang menyebabkan hal demikian terjadi tentu karena “kemudahan akses terhadap fasilitas kesehatan terdekat.”
Selain Kecamatan Mlandingan yang masih belum memiliki rumah sakit dianggap belum memadai guna melakukan persalinan, juga karena Alas Bayur secara goografis mengkhawatirkan.
Satu-satunya akses layanan kesehatan, hanya ada di puskesmas yang terletak jauh dari mereka, yakni di Mlandingan Kulon. Ditambah lagi, sarana dan prasarana yang masih kurang memadai di Alas Bayur cukup mengancam dan terus memperendah angka kelahiran.
Warga Desa Alas Bayur dimungkinkan menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan yang diperlukan untuk persalinan, sehingga banyak yang mungkin memilih untuk menunda atau bahkan tidak melanjutkan kehamilan. Tentu yang demikian brbeda dengan Desa Selomukti yang relatif lebih mudah menerima layanan kesehatan.
Jaraknya yang lebih dekat dan sarana transportasi, lebih memungkinkan warga Desa Selomukti mendapatkan perawatan kesehatan terutama dalam hal kehamilan dan persalinan. Berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat Alas Bayur.
Temuan ini oleh mereka dijadikan dasar untuk memberikan rekomendasi pada sejumlah pihak, termasuk pemerintah. Dalam pandangannya, kebijakan penguatan layanan kesehatan perlu didasarkan pada data-data geografis. (*)