Frensia.id- Mulai Januari 2025, pemerintah Indonesia meluncurkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan anggaran sebesar Rp 71 triliun. Program ini bertujuan untuk mengatasi masalah kekurangan gizi, khususnya pada anak-anak dan ibu hamil, kelompok yang paling rentan terhadap dampak buruk malnutrisi. Meski tujuan program ini patut diapresiasi, pelaksanaannya menghadapi sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi agar manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat.
Salah satu tantangan terbesar adalah implementasi kebijakan ini. Meskipun niat program ini sangat baik, distribusi yang tidak tepat sasaran dapat menyebabkan manfaatnya tidak dirasakan oleh mereka yang benar-benar membutuhkan. Pepatah “Bagai pungguk merindukan bulan” bisa menjadi kenyataan jika harapan masyarakat miskin untuk mendapatkan akses gizi layak tidak terpenuhi akibat distribusi yang salah sasaran.
Ada kekhawatiran bahwa kelompok yang seharusnya menjadi prioritas justru terlewatkan, sementara mereka yang tidak terlalu membutuhkan malah mendapatkan jatah lebih. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan kualitas makanan yang diberikan memenuhi standar gizi yang cukup, sekaligus mengawasi distribusinya secara ketat. Tanpa pengawasan yang baik, program ini berisiko kehilangan esensinya sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun, di tengah potensi masalah tersebut, program MBG tetap patut diapresiasi. Ini adalah langkah penting untuk mengurangi kesenjangan sosial dan memberikan kesempatan yang lebih baik bagi anak-anak dan ibu hamil dari keluarga kurang mampu. Meski demikian, program ini tidak boleh hanya menjadi solusi sementara. Tanpa keberlanjutan yang jelas, tujuan besar dari program ini akan sulit tercapai.
Dari perspektif keadilan sosial, yang menjadi sorotan adalah bagaimana manfaat program ini didistribusikan. Keberhasilan MBG tidak hanya diukur dari besar anggaran yang dialokasikan, tetapi juga dari seberapa merata manfaatnya bagi mereka yang benar-benar membutuhkan, terutama di daerah-daerah miskin dan terpencil. Program ini harus menjadi alat untuk mengurangi kesenjangan sosial, bukan malah memperburuknya.
Selain itu, pelaksanaan program sebesar ini harus mempertimbangkan realitas di lapangan. Infrastruktur yang belum merata dan keterbatasan anggaran menjadi tantangan yang tidak bisa diabaikan. Pengelolaan anggaran yang efisien, pengawasan yang ketat, dan distribusi yang tepat menjadi kunci keberhasilan MBG. Tanpa langkah-langkah ini, niat mulia program ini bisa terhambat oleh kendala teknis yang memperlambat pelaksanaannya.
Program Makan Bergizi Gratis memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat rentan. Namun, dampaknya hanya akan maksimal jika pendekatan yang digunakan bersifat holistik dan berkelanjutan. Pemerintah perlu memastikan bahwa program ini lebih dari sekadar pemberian makan. MBG harus menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk mengatasi ketimpangan sosial dan kemiskinan dengan langkah-langkah yang lebih terarah dan sistematis.