Frensia.id – Jelang 100 hari kepemimpinan Prabowo-Gibran pada 28 Januari 2025 mendatang, beberapa lembaga telah menerbitkan penilaian dan hasil survei. Dari hasil kepuasaan masyarakat yang cukup tinggi, hingga rapor merah beberapa Menteri.
Namun, ICW atau Indonesia Corruption Watch menilai bahwa dalam 100 hari kerja Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tidak adanya gebrakan untuk segera merealisasikan agenda anti korupsi.
Bahkan, dalam Outlook “Catatan 100 Hari Prabowo-Gibran dan dan Proyeksi Pemberantasan Korupsi 2025” ICW menyebut pasangan yang terpilih pada Pilpres 2024 itu memiliki kecenderungan berbalik arah dari Asta Cita yang diusung saat kampanye, dan terkesan toleran terhadap koruptor.
Hal tersebut terkonfirmasi dari berbagai pernyataan dan kebijakan langsung Prabowo atau pernyataan dan rencana kebijakan para Menteri Kabinet Merah Putih.
Pernyataan Prabowo yang akan memberikan pengampunan atau memaafkan koruptor jika mengembalikan uang rakyat yang dikorupsi dianggal hal yang paling membuktikan kendornya komitmen pemerintahan Prabowo-Gibran.
Lebih lanjut, ICW menyebut kendornya komitmen ini juga diperkuat dengan rencana kontroversial Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, yang akan mengeluarkan kebijakan berpotensi tidak transparan, sulit dipertanggungjawabkan dan tidak menimbulkan efek jera, yakni denda damai bagi koruptor.
Selain itu, Menteri Hukum yang menjabat sejak jelang berakhirnya masa pemerintahan Jokowi ini menunjukkan sikap inkonsistensi terhadap koordinator kementerian diatasnya, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam).
Budi Gunawan, Menkopolkam pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia pada 9 Desember lalu memberikan dukungan untuk penguatan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK), sedangkan Supratman Andi Agtas mengeluarkan gagasan KPK tidak lagi dibutuhkan jika Undang-Undang partai politik, perampasan asset dan pembatasan uang karta dibahas dan disakan oleh DPR.
Inkonsistensi lainnya, terhadap eksistensi KPK juga pernah disampaikan Menteri Koordinator Hukum, Yusril Ihza Mahendra yang mengusulkan adanya lembaga Tunggal untuk memberantas korupsi, dengan menyatukan lembaga berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan dalam bidang tindak pidana korupsi.
Pernyataan yang saling bertentangan dari para menteri Kabinet Merah Putih itu, dalam pengantar Outlook yang terbit pada 23 Januari lalu itu, menurut ICW mencerminkan buruknya pemahaman, koordinasi, dan pola komunikasi publik terkait agenda antikorupsi dalam Astacita yang digagas oleh Prabowo-Gibran.
Demikian juga, dapat dinilai menjadi indikator bahwa pemberantasan korupsi di era Prabowo-Gibran belum jelas arahnya dan terkesan hanya sebatas retorika penguatan antikorupsi tanpa tindakan nyata.
Padahal dalam Astacita, delapan misi pemerintaha Prabowo-Gibran, salah satu hal paling dikampanyekan ialah akan memperkuat reformasi politik, hukum dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba.
Selain itu, secara terperinci agenda anti korupsi dalam Astacita diurai dalam lima poin penting. Pertama, mengatur sistem pendanaan dan pembiayaan politik yang transparan.
Kedua, melakukan penguatan KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman serta menjamin untuk tidak mengintervensi penegakan kasus korupsi.
Ketiga, menjadikan KPK sebagai center of excellence dalam upaya pemberantasan korupsi yang bersifat preventif.
Keempat, memperkuat program edukasi anti-korupsi bagi generasi muda, serta bekerja sama dengan swasta untuk menguatkan sinergi gerakan anti-korupsi di sektor swasta dan publik.
Kelima, revitalisasi pengawasan melalui pembangunan inspektorat (independen dan akuntabel) dan pengawasan kebocoran penerimaan perpajakan yang dikombinasikan sistem transaksi keuangan yang bersifat bankable dan pembayaran non-tunai.