Mata Batin Santri dan Kiai Ahli Neraka

Rabu, 29 Januari 2025 - 00:45 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id– Pernahkah terlintas dalam pikiran betapa rapuhnya batas antara kehidupan di dunia ini dengan takdir yang tersembunyi di balik langit? Di tengah kesibukan dan rutinitas sehari-hari, sering kali terlupakan bahwa ada hal-hal yang lebih besar dari apa yang tampak di depan mata. Tak jarang, hidup terasa begitu jelas dan pasti, padahal di balik setiap kejadian ada rahasia Ilahi yang tidak dapat dipahami sepenuhnya.

Dalam sebuah ceramah, KH. Kholil As’ad, Pengasuh Pondok Pesantren Wali SongoSitubondo, Jawa Timur, bercerita tentang seorang santri yang terus menangis selama berminggu-minggu. Sementara santri lain sibuk mengaji, makan, atau beristirahat, ia terus menangis seolah ada beban besar yang tak sanggup ia tanggung. Para pengurus pesantren yang mulai khawatir melaporkan hal ini kepada sang kiai.

Kiai pun mendatangi santri itu dan bertanya, “Mengapa kamu menangis?” Dengan suara bergetar, santri itu menjawab, “Kiai, saya melihat tulisan di langit bertuliskan kiai min ahli naar – kiai ahli neraka. Bagaimana saya tidak menangis? Kiai yang selama ini membimbing saya, mengasuh saya, mengenalkan saya kepada Allah dan Nabi, bagaimana mungkin ditakdirkan sebagai ahli neraka?”

Mendengar hal itu, sang kiai dengan tenang menjawab, “Walaupun saya ditulis sebagai ahli neraka, saya tetap akan melaksanakan apa yang menjadi tugas Allah kepada saya. Saya akan tetap shalat, tetap berakhlak baik, dan tetap istiqamah. Saya ridha jika itu memang ketentuan Allah.”

Baca Juga :  Ramadan, Musik Religi, dan Keabadian Musisi Favorit Generasi Milenial

Setelah kiai meninggalkan santri itu dan masuk ke rumah, tiba-tiba tulisan di langit berubah. Kini, santri itu melihat tulisan baru: min ahli jannah – ahli surga.

KH. Kholil As’ad kemudian menyampaikan pesan moral yang mendalam dari cerita ini: “Kita tidak pernah tahu apa yang akan ditentukan Allah di akhir perjalanan hidup kita. Sekalipun kita merasa berada dalam kegelapan, teruslah berbuat baik. Karena pada akhirnya, yang menentukan segalanya adalah Allah.”

Cerita ini mengingatkan akan pentingnya kerendahan hati di hadapan takdir dan kesadaran bahwa tugas sejati adalah berbuat baik, apapun yang tampak di depan mata. Kiai dalam kisah ini mengajarkan bahwa iman bukanlah soal menghindari ketakutan, tetapi menerima dengan lapang dada sambil tetap teguh menjalankan perintah Allah.

Di dunia yang sering memuja hasil instan, cerita ini menjadi pengingat untuk terus melangkah dengan penuh keikhlasan. Tidak peduli bagaimana langit terlihat hari ini, tugas manusia adalah menanam benih kebaikan. Hasilnya? Serahkan kepada-Nya, Sang Penentu Segalanya.

Jika diamati, cerita ini memiliki kemiripan dengan pengajaran yang terdapat dalam cerpen Gus Jakfar karya Gus Mus. Dalam cerpen itu, Gus Jakfar berguru pada Kiai Tawakkal. Suatu ketika, Gus Jakfar melihat dengan jelas di kening kiainya sebuah tanda besar bertuliskan “Ahli Neraka.” Tanda itu membuatnya gelisah, namun Kiai Tawakkal dengan bijak menjelaskan bahwa ia tidak perlu mencemaskan tanda tersebut.

Baca Juga :  Menjelang Ramadan 2025, Masyarakat Peduli Jember Bersama Petugas Gabungan Razia Tempat Hiburan Malam

Kiai Tawakkal menjelaskan bahwa, pertama, apa yang terlihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbu yang bening. Kedua, neraka dan surga, serta dirinya, adalah milik Allah. Maka, terserah kehendak-Nya apakah Ia akan memasukkan ke surga atau neraka. Untuk itu, Allah tidak memerlukan alasan apapun.

Bagi Kiai Tawakkal, manusia berbuat baik karena ingin dipandang baik oleh-Nya dan ingin dekat dengan-Nya. Namun, manusia tidak berhak menuntut balasan atas kebaikannya. Mengapa? Karena kebaikan yang dilakukan pun berasal dari-Nya.

Kedua cerita ini mengajarkan kesadaran yang dalam akan takdir Allah. Dalam hidup ini, tidak ada hak untuk menilai siapa yang layak atau tidak layak masuk surga atau neraka. Yang bisa dilakukan hanyalah berusaha untuk berbuat baik, tanpa merasa berhak menuntut hasilnya. Sebab, kebaikan yang dilakukan pun merupakan anugerah dari Allah.

Melalui kisah Kiai Kholil As’ad dan Gus Jakfar dalam cerpen Gus Mus, tercermin ajaran untuk selalu rendah hati, tidak mudah menilai, dan terus berbuat baik tanpa mengharapkan balasan. Semua itu, pada akhirnya, adalah bagian dari kehendak-Nya. Yang perlu dilakukan adalah melangkah dengan penuh keikhlasan, menyerahkan segala keputusan kepada Allah, Sang Penentu Segalanya.

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Tiga Tingkatan Puasa: Syariat, Thoriqoh, Hakikat
Dalil Dzikir Berjamaah Usai Salat Menurut Kiai Ali Mustafa Yaqub
Sambut Bulan Suci Ramadan, DPC PKB Jember Adakan Ngabuburit Festival Band
Ramadan, Musik Religi, dan Keabadian Musisi Favorit Generasi Milenial
Tuhan, Maaf Puasaku Masih Egois
Istimewa! Warteg Gratis Alfamart Hadirkan 54.000 Paket Berbuka untuk Kaum Duafa di 36 Kota
Buka Puasa Gratis Sepanjang Ramadan 2025! Alfamart dan WINGS Group Gandeng Warteg UMKM di 36 Kota Bantu Kaum Duafa
Ramadhan, Kebodohan, dan Kepalsuan

Baca Lainnya

Selasa, 11 Maret 2025 - 10:05 WIB

Tiga Tingkatan Puasa: Syariat, Thoriqoh, Hakikat

Senin, 10 Maret 2025 - 04:16 WIB

Dalil Dzikir Berjamaah Usai Salat Menurut Kiai Ali Mustafa Yaqub

Sabtu, 8 Maret 2025 - 18:05 WIB

Sambut Bulan Suci Ramadan, DPC PKB Jember Adakan Ngabuburit Festival Band

Sabtu, 8 Maret 2025 - 03:50 WIB

Ramadan, Musik Religi, dan Keabadian Musisi Favorit Generasi Milenial

Selasa, 4 Maret 2025 - 20:11 WIB

Tuhan, Maaf Puasaku Masih Egois

TERBARU

Kolomiah

Ramadhan, Setan Dipasung, Kenapa Maksiat Masih Subur?

Rabu, 12 Mar 2025 - 08:30 WIB

Kolomiah

Ramadhan dan Negeri yang Gemar Menunda

Selasa, 11 Mar 2025 - 12:23 WIB

Religia

Tiga Tingkatan Puasa: Syariat, Thoriqoh, Hakikat

Selasa, 11 Mar 2025 - 10:05 WIB