Frensia.id – Islah Bahrawi, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang dikenal tegas dan kritis, menanggapi fenomena viral pengajian Gus Iqdam di Pacitan yang dibuka dengan musik DJ dan sound horeq.
Melalui akun X-nya pada Minggu 16 Februari 2024, Islah menyoroti kecenderungan ceramah agama yang semakin bergeser menjadi industri hiburan. Ia menulis:
“Sudah kubilang di salah satu stasiun TV bulan lalu, ceramah agama semakin lama menjadi industri entertainment-hanya menjual jenaka dan gemuruh panggung. Persis pertunjukan Ketoprak dengan variasi tarif dan jenis-jenis paketnya.”
Islah mengkritik praktik dakwah yang lebih mengedepankan hiburan daripada substansi keilmuan. Ia menilai, fenomena ini tidak hanya mengurangi esensi dakwah, tetapi juga mengubah citra agama menjadi sekadar tontonan.
Dalam cuitannya, ia juga mengutip sindiran Friedrich Nietzsche, seorang filsuf yang banyak disebut ateis menyatakan, “Sosok Tuhan disuarakan untuk menakut-nakuti orang, demi mencari cuan dan kekuasaan.”
Meski Nietzsche dikenal sebagai ateis, Islah mengakui bahwa sindirannya terasa relevan dengan realitas yang terjadi saat ini.
Ia menambahkan, “Mungkin saja sindirannya dianggap salah karena dia seorang ateis. Tapi bagi saya yang beragama pun, sindiran Nietzsche terasa ada benarnya. Toh, faktanya memang demikian.”
Islah menegaskan bahwa pendakwah seharusnya mampu membuktikan bahwa premis Nietzsche salah besar. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Praktik dakwah yang mengedepankan hiburan, seperti penggunaan musik DJ dan sound horeq, seolah membenarkan kritik Nietzsche.
Islah menekankan, “Nah, pendakwah agama itu seharusnya bisa membuktikan kepada khalayak bahwa premis Nietzsche (yang seorang ateis) salah besar, bukan justeru membuktikan kebenarannya.”
Fenomena Pengajian Gus Iqdam dan Kritik Islah Bahrawi
Pengajian Gus Iqdam di Pacitan yang viral menjadi contoh nyata dari kritik Islah. Acara tersebut dibuka dengan musik DJ dan sound horeq, menciptakan suasana layaknya konser.
Meski panitia menjelaskan bahwa musik tersebut hanya digunakan sebagai pembuka dan bertujuan menarik perhatian masyarakat, hal ini tetap menuai pro dan kontra.
Islah tidak secara langsung menyebut nama Gus Iqdam dalam cuitannya, tetapi konteksnya jelas merujuk pada fenomena serupa. Ia menilai, pendekatan dakwah seperti ini justru mengaburkan esensi agama. Dakwah seharusnya mengedukasi dan menginspirasi, bukan sekadar menghibur.
Dakwah sebagai Tanggung Jawab Keilmuan
Islah Bahrawi dikenal sebagai tokoh yang konsisten menekankan pentingnya keilmuan dalam berdakwah. Dalam berbagai kesempatan, ia kerap mengkritik pendakwah yang lebih mengandalkan candaan dan hiburan daripada substansi keagamaan.
Dalam kesempatan lain Ia juga mengkritik ceramah yang dilakukan Gus Miftah, “Ceramah seperti yang dilakukan Gus Miftah ini, kalau bagi saya pribadi, pada akhirnya kita kembalikan ke persoalan keilmuan. Kalau merasa tidak berilmu, nggak usah ceramah agama.”
Pernyataan ini sejalan dengan kritiknya terhadap fenomena pengajian Gus Iqdam. Islah menilai, pendakwah harus mampu membedakan antara dakwah yang mendidik dan dakwah yang sekadar menghibur. Jika tidak, agama akan kehilangan makna dan fungsi utamanya sebagai pembimbing spiritual.
Refleksi atas Kritik Nietzsche
Kritik Islah terhadap praktik dakwah yang menghibur juga membawa refleksi mendalam. Ia mengajak para pendakwah untuk introspeksi. Apakah mereka sedang membawa agama ke arah yang benar, atau justru membenarkan kritik-kritik dari luar seperti yang dilontarkan Nietzsche?
Islah menegaskan, “Toh, faktanya memang demikian.” Ia mengakui bahwa praktik dakwah yang mengedepankan hiburan dan kepentingan materi telah memberikan ruang bagi kritik seperti Nietzsche untuk dianggap benar.
Padahal kata Islah, seharusnya pendakwah mampu membuktikan bahwa agama bukan sekadar alat untuk mencari keuntungan atau kekuasaan.
Cuitan Islah Bahrawi ini bukan sekadar kritik terhadap fenomena pengajian Gus Iqdam, tetapi juga seruan untuk mengembalikan esensi dakwah yang sesungguhnya. Ia mengingatkan bahwa dakwah adalah tanggung jawab keilmuan, bukan sekadar tontonan atau hiburan.
Dengan bahasa yang sederhana namun tajam, Islah mengajak semua pihak, terutama para pendakwah, untuk lebih menghargai agama sebagai sumber pengetahuan dan spiritualitas, bukan sebagai komoditas hiburan.