Frensia.id– Belakangan, pemerintah gencar menggaungkan efisiensi anggaran. Ironisnya, di saat yang sama, Rp13,2 miliar dari APBN justru digelontorkan untuk Retret Kepala Daerah di Akademi Militer Magelang. Acara ini diklaim untuk menyelaraskan visi kepala daerah dengan pemerintahan pusat. Tapi benarkah tanpa retret ini, mereka tak bisa memahami arah kebijakan nasional?”
Sebagai pejabat publik yang telah melalui proses seleksi politik dan administratif, kepala daerah seharusnya sudah memahami visi-misi Presiden, terutama mereka yang berasal dari partai koalisi. Jika memang masih perlu penyamaan persepsi, bukankah ada cara yang lebih hemat, seperti rapat virtual atau pembekalan daring? Era digital menawarkan banyak solusi tanpa harus mengumpulkan 505 kepala daerah di satu tempat dengan biaya besar.
Di tengah kondisi keuangan negara yang diklaim harus dikelola secara efisien, pengalokasian dana untuk acara semacam ini layak dipertanyakan. Apalagi, pemerintah daerah awalnya diminta menyediakan anggaran sendiri dari APBD, sebelum akhirnya Kemendagri mengambil alih pembiayaan lewat APBN. Kontras dengan seruan efisiensi, acara ini justru menambah beban anggaran.
Kehadiran dalam retret ini seolah dijadikan tolok ukur loyalitas kepala daerah terhadap pemerintah pusat. Bagaimana dengan mereka yang absen, terutama dari PDIP? Apakah ketidakhadiran berarti kurang setia, sehingga ada risiko perlakuan berbeda dalam distribusi anggaran? Benarkah tanpa retret ini, kepala daerah tidak bisa memahami arah kebijakan nasional? Seakan-akan, tanpa pertemuan fisik di Magelang, mereka tidak mampu menyelaraskan visi pembangunan daerah dengan kebijakan pusat.
Padahal, tugas utama kepala daerah bukanlah sekadar menyamakan visi dengan presiden, melainkan menjalankan amanat konstitusi untuk menyejahterakan rakyat di wilayahnya masing-masing. Jika mereka memang berkomitmen pada konstitusi, mengapa harus diuji melalui acara yang menelan anggaran miliaran? Retret ini justru menimbulkan pertanyaan: siapa yang sebenarnya butuh pembekalan—para kepala daerah atau pemerintah pusat yang ingin memastikan kesetiaan mereka?
Lalu, mari bicara soal keadilan anggaran. Pemerintah menggencarkan penghapusan tenaga honorer dengan alasan penghematan. Honorer dianggap membebani keuangan negara. Tapi lihat angka ini: Rp13,2 miliar yang dihabiskan untuk satu acara retret bisa menggaji 4.400 honorer dengan gaji Rp3 juta selama sebulan. Jika gajinya Rp1 juta, anggaran ini cukup untuk 13.200 honorer per bulan. Bahkan dengan standar tragis Rp300 ribu, jumlahnya bisa mencapai 44.000 orang per bulan.
Jika dihitung dalam setahun, Rp13,2 miliar bisa menggaji 366 honorer dengan gaji Rp3 juta per bulan selama 12 bulan. Jika standar gajinya Rp1 juta, 1.100 honorer bisa tetap bekerja selama setahun. Dan jika kita bicara standar Rp300 ribu, 3.666 honorer bisa tetap bertahan hidup. Sudah memenuhi hidup hajat orang banyak.
Tapi kenyataannya, tenaga honorer justru diberhentikan. Para pegawai yang bertahun-tahun mengabdi di sekolah, rumah sakit, hingga kantor pemerintahan, dipaksa keluar dengan dalih efisiensi. Sementara anggaran untuk acara seremonial tetap mengalir tanpa hambatan.
Efisiensi semestinya bukan sekadar dalih untuk memangkas yang kecil. Jika benar ingin berhemat, potong dulu yang seremonial. Jika benar ingin efisiensi, tinjau ulang anggaran yang hanya formalitas. Jangan sampai penghematan hanya berlaku bagi honorer yang tak bersuara, sementara anggaran tetap deras untuk mereka yang dekat dengan kekuasaan.
Efisiensi anggaran seharusnya bukan sekadar omon-omon. Jika pemerintah serius dengan penghematan, maka alokasi dana untuk kegiatan semacam ini seharusnya ditinjau ulang. Pembekalan kepala daerah penting, tapi metode dan biayanya harus rasional. Jika tidak, publik justru melihat retret ini lebih sebagai ajang formalitas ketimbang upaya memperkuat pemerintahan daerah secara substantif.