Frensia.id – Isu pemakzulan presiden atau wakil presiden selalu menyulut perhatian publik. Ia bukan semata soal hukum tata negara, tapi juga menyentuh rasa keadilan, etika kekuasaan, dan arah demokrasi kita. Baru-baru ini, pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang terus mencuat ke ruang publik, dan memancing tanggapan langsung dari Presiden ke-7, Joko Widodo.
Dalam keterangannya kepada media, Jokowi menegaskan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia dilakukan secara “satu paket”, berbeda dengan sistem di Filipina. Pernyataan ini sekilas tampak sederhana, namun menyimpan kerancuan serius dalam memahami konstitusi.
Mari buka kitab suci kenegaraan kita: Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Di sana secara eksplisit disebutkan: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat.” Frasa “dan/atau” bukanlah diksi sambil lalu. Ia merupakan hasil perdebatan panjang para ahli konstitusi dan menyimpan muatan yuridis yang khas.
Seandainya konstitusi hanya menyebut “dan”, barulah makna “satu paket” itu menguat. Namun dengan menambahkan “atau”, maknanya menjadi: presiden saja bisa dimakzulkan, wakil presiden saja bisa, atau keduanya sekaligus.
Artinya, jika Gibran selaku wakil presiden melakukan pelanggaran hukum berat, korupsi, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai wapres, maka ia dapat diberhentikan tanpa harus menyeret Presiden Prabowo dalam pusaran pemakzulan itu. Di sinilah letak koreksi narasi Jokowi: ia membawa pemahaman politik tentang pencalonan ke dalam ranah hukum konstitusional yang memiliki rezim berpikir berbeda.
Pemakzulan adalah urusan tanggung jawab individual, bukan kolektif. Jabatan presiden dan wakil presiden memang dipilih dalam satu tiket, tetapi pertanggungjawaban keduanya bersifat terpisah. Sama seperti suami-istri: menikah bersama, tapi tidak lantas berarti jika suami melakukan korupsi, sang istri ikut dijebloskan ke penjara. Begitu pula dalam sistem ketatanegaraan kita—jika wakil presiden melanggar hukum, maka dialah yang bertanggung jawab, bukan pasangannya dalam pencalonan.
Lagipula, logika pemakzulan bukan logika pemilu. Pemilu memang satu tiket. Tapi pemakzulan adalah proses hukum dan politik yang didasarkan pada pertanggungjawaban pribadi terhadap konstitusi dan rakyat. Jokowi benar jika ingin membela Gibran sebagai seorang ayah. Tapi keliru jika membela Gibran dengan memakai tafsir yang menyimpang dari konstitusi.
Apa yang disampaikan Jokowi tampaknya lebih bernuansa politis ketimbang yuridis. Namun narasi seperti ini berbahaya jika dibiarkan. Ia berpotensi menjadi tafsir resmi bagi pendukung buta, padahal cacat secara hukum. Dalam negara hukum, tafsir konstitusi tidak bisa dimonopoli oleh kekuasaan. Tafsir itu adalah milik akal sehat, nalar hukum, dan institusi yang diberi wewenang oleh konstitusi: Mahkamah Konstitusi.
“Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.” Ungkapan mendiang Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini layak menjadi renungan bersama. Dalam konteks hari ini, yang lebih penting dari kekuasaan adalah kejujuran intelektual dalam menafsirkan hukum. Membela keluarga adalah hal yang manusiawi, tetapi konstitusi tidak boleh dikorbankan demi ikatan darah. Publik sudah terlalu lelah menyaksikan hukum dipelintir demi melayani kepentingan politik. Jangan sampai narasi “satu paket” ini justru turut memperlebar luka kepercayaan rakyat terhadap hukum.
Pemakzulan Gibran belum tentu layak dilakukan. Namun begitu, membahasnya tidak bisa dilarang. Dan kalaupun harus dilakukan, ia memiliki dasar hukum yang kuat. Demokrasi tidak membutuhkan pemimpin yang takut terhadap hukum. Demokrasi membutuhkan pemimpin yang tunduk pada hukum—bahkan ketika hukum menyentuh keluarganya sendiri. Di situlah martabat seorang negarawan diuji.*