“the Islamic legal studies in Ma‘had Aly Situbondo is strongly nuanced by liberal elements either in the level of epistemology of the study that they developed or in the level of praxis of the studies”
Musahadi
Frensia.id-Enam alasan mendasar yang pernah disebut-sebut seorang guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Wali Songo Semarang, Prof Musahadi, sebagai indikator adanya liberalitas agama di Ma’had Aly Situbondo. Ia mencatat keenamnya dalam riset akhir doktoralnya tahun 2012.
Sebagaimana yang telah dikumpulkan oleh Frensia.id sebelumnya bahwa melalui diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2019, usaha Ma’had Aly untuk memperoleh pengakuan yang lebih luas dan dasar hukum. Bahkan Peraturan Menteri Agama No. 32 Tahun 2020 menyediakan pedoman yang lebih jelas dan konkret untuk pengembangan Ma’had Aly.
Melalui aturan ini, Ma’had Aly sebagai pendidikan tinggi salaf pesantren dapat lebih fokus dalam mencapai tujuan besar mereka sebagai institusi pendidikan tinggi yang berkomitmen mengembangkan pendidikan agama berbasis pesantren. Kemajuan ini menunjukkan bahwa Ma’had Aly tidak hanya berupaya menyediakan pendidikan tinggi yang berkualitas, tetapi juga berjuang untuk menjadi institusi yang diakui dan dihormati secara hukum.
Namun, ada beberapa temuan yang menegaskan bahwa ternyata ada satu lembaga yang pernah disebut oleh Prof Musahadi memiliki kajian liberal. Lembaga tersebut adalah Ma’had Aly Situbondo.
Mengapa kajian disebut demikian, padahal Ma’had Aly Situbondo telah terbukti melahirkan banyak tokoh-tokoh NU? Padahal notabene lulusannya memiliki pandangan moderat.
Frensia.id menelisik penjelasan Prof Musahadi dalam risetnya. Ternyata ada 6 hal yang mendasari, ia menyebut Ma’had Aly Situbondo liberal.
Arus Urbanisasi-Diseminasi Intelektual di Ma’had Aly
Arus urbanisasi membawa gelombang pemikiran baru ke dalam lingkungan Ma’had Aly. Ketika para santri dan pengajar terpapar pada berbagai gagasan dari kota-kota besar, mereka membawa kembali ide-ide tersebut ke dalam diskusi akademis di Ma’had Aly. Proses diseminasi intelektual ini membuka pintu bagi pemikiran liberal untuk berkembang.
Ketidakpuasan terhadap Epistemologi Fiqih NU
Sebagian masyarakat Ma’had Aly merasa tidak puas dengan pendekatan epistemologi fiqih yang diajarkan oleh Nahdlatul Ulama (NU). Mereka mencari cara untuk mereformasi dan memperbarui pendekatan tersebut, sehingga membuka ruang bagi pemikiran liberal untuk diadopsi. Rasa ketidakpuasan ini mendorong pencarian alternatif yang lebih sesuai dengan kebutuhan zaman.
Inspirasi dari Tokoh Pemikir Liberalisme
Inspirasi yang dibawa oleh tokoh-tokoh pemikir liberalisme, baik klasik maupun modern, lokal maupun global, memainkan peran penting dalam perkembangan kajian di Ma’had Aly. Pemikiran tokoh-tokoh liberal terbukti memberikan landasan teori yang kuat untuk pendekatan liberal dalam studi hukum Islam.
Rujukan Historis tentang Pemikiran Liberal NU
Sejarah pemikiran liberal dalam NU sendiri menjadi salah satu rujukan penting. Pemikiran-pemikiran liberal yang pernah ada dalam sejarah NU memberikan legitimasi dan inspirasi bagi pengembangan pemikiran serupa di Ma’had Aly. Ini menunjukkan bahwa liberalisme bukanlah hal asing dalam tradisi keagamaan mereka.
Keterbukaan Para Pengajar
Para pengajar atau pengasuh di Ma’had Aly dikenal dengan keterbukaan mereka terhadap berbagai pemikiran. Sikap inklusif ini menciptakan lingkungan akademis yang mendukung eksplorasi dan diskusi bebas, memungkinkan pemikiran liberal untuk tumbuh dan berkembang tanpa hambatan yang berarti.
Jaringan dengan LSM, Pusat Studi, dan Komunitas Epistemik Liberal
Jaringan Ma’had Aly dengan LSM, pusat-pusat studi, dan komunitas epistemik liberal lainnya memberikan dukungan eksternal yang kuat. Kolaborasi ini memperkaya wawasan dan sumber daya, serta memberikan platform bagi pertukaran ide dan pengalaman yang memperkuat orientasi liberal dalam kajian mereka.
Dalam lingkungan yang demikian, menurut Prof Muhasahadi, Ma’had Aly menjadi wadah bagi pemikiran progresif, tempat di mana tradisi dan inovasi bertemu. Para santri dan pengajar di sana tidak hanya belajar dan mengajar, tetapi juga menghidupkan dialog yang dinamis antara masa lalu dan masa kini, antara teks klasik dan konteks kontemporer. (*)