Frensia.id – Semakain berkembangnya zaman teknologi juga senantiasa tumbuh. Bitcoin adalah anak kandung dari dua hal tersebut.
Sejak lahirnya paper ilmiah karya Satoshi Nakamoto dengan tesisnya yang bertajuk “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System”, dunia spontan dikagetkan dengan solusi keuangan yang dinilai revolusioner.
Belakangan ini, terdapat tiga profesor yang berbincang ihwal Bitcoin secara khusus melalui prespektif filsafat.
Tiga profesor tersebut adalah Andrew M. Bailey, seorang Associate Professor bidang Humaniora di Yale-NUS College, Singapura, Bradley Rettler, seorang Associate Professor Filsafat di Universitas Wyoming, dan Craig Warmke, seorang Profesor Madya Filsafat di Northern Illinois University.
Mereke bertiga bertemu dan berdiskusi dalam seminar diskusi bertajuk “What Bitcoin Did”.
Tidak satu pun dari mereka menentang dan menilai negatif keberadaan Bitcoin, bahkan ketiganya menyebut sebagai alternatif untuk melawan rezim fiat.
Awal perbincangan dibuka oleh Andrew, ia menyebutnya bahwa hampir semua orang tahu saat ini aset terbaik adalah emas, namun Bitcoin hampir menyalipnya.
Persoalan fundamental dari sistem Keynesian ekonomi, alias sentralisasi sistem keuangan secara khusus hanya bermodalkan kepercayaan. Terlebih kepercayaan pada pemerintahan yang berhak mencetak uang.
Baginya, hampir semua masyarakat di negara manapun, masih mempercayai bahwa inflasi itu adalah hal yang baik, dan mereka suatu saat akan menyadari jika mata uang (fiat) mereka akan bernasib sama dengan Argentina Peso, atau Yen dari Jepang.
Dalam hal ini, Bitcoin sebagai satu mata uang (aset) yang dibangun di atas teknologi WEB 3, alias teknologi Blockchain, maka hal ini adalah solusi utama.
Bitcoin sendiri berbeda dengan aset konvensional lainnya, entah berupa property, emas, saham, dan aset semacamnya. Karena ia dibangun atas kepentingan desentralisasi sistem, dan sistem yang hampir mustahil untuk dibobol.
Mereka sepakat menyebut Bitcoin sebagai “Money Resistance”. (*)