Frensia.id-Diteliti dan ramai diperbincangkan oleh akademisi. Seorang Perempuan Bernama Isra’ Ghurrayib di Palestina mati karena dianggap melanggar kehormatan dan kerasukan jin.
Kisah tragis Isrāʾ Ghurayyib, seorang perempuan muda Palestina yang meninggal dalam kondisi misterius pada 2019, telah menyita perhatian akademisi dari barat. Salah satunya, adalah Irene Schneider.
Ia adalah Profesor Studi Bahasa Arab dan Islam yang dikenal atas kontribusinya dalam kajian hukum Islam, gender, dan sejarah sosial dunia Islam. Ia meraih gelar doktor dari Universitas Tuebingen pada tahun 1989 dengan disertasi yang membahas aspek hukum dan peran perempuan dalam masyarakat Islam.
Sepanjang karier akademiknya, Schneider telah mempublikasikan berbagai karya ilmiah yang membahas isu-isu terkait hukum syariah, feminisme dalam Islam, dan perubahan sosial di dunia Arab, menjadikannya salah satu pakar terkemuka dalam bidang ini.
Dalam satu tulisannya yang terbit dalam Walter de Gruyter pada tahun 2024 ini, mengungkapkan kompleksitas sistem keadilan, patriarki, dan cara narasi dibingkai dalam media lokal maupun internasional. Kasus kematian Isrāʾ Ghurayyib lebih dari sekadar kematian seorang perempuan, namun juag tentang budaya, kehormatan, dan bagaimana perempuan di negara-negara konservatif sering kali menjadi korban dari narasi yang dibentuk untuk menjustifikasi kekerasan padanya.
Saat berita kematian Isrāʾ Ghurayyib mencuat, banyak media Eropa, seperti Der Spiegel dan *BBC*, dengan cepat menggunakan istilah “kejahatan demi kehormatan.” Dalam konteks ini, istilah tersebut merujuk pada pembunuhan yang dilakukan oleh anggota keluarga laki-laki, seperti ayah atau saudara laki-laki, untuk menghukum perempuan yang dianggap telah melanggar norma seksual, dengan tujuan memulihkan kehormatan keluarga. Meski tajuk berita tersebut terdengar dramatis dan menimbulkan perhatian, media-media ini sering kali melewatkan dimensi yang lebih kompleks dari kasus yang sedang berlangsung.
Di Palestina, kasus Isrāʾ Ghurayyib tidak sepenuhnya dilihat melalui lensa “kejahatan kehormatan.” Narasi seperti itu, yang cenderung menarik perhatian publik Barat, tidak mencerminkan kenyataan yang lebih dalam tentang kasus ini. Jaksa Penuntut Umum Palestina secara eksplisit menolak narasi tersebut, meskipun pengakuan tentang kekerasan patriarki dalam masyarakat Palestina tetap tak terbantahkan.
Dalam kasus Ghurayyib, keluarga awalnya berpegang pada narasi yang tidak lazim: bahwa Isrāʾ Ghurayyib dirasuki jin. Juru bicara keluarga, Muḥammad Ṣāfī, bahkan bersikeras bahwa kematian Ghurayyib disebabkan oleh tindakan tidak sadar yang dia lakukan akibat kerasukan jin. Narasi ini menjadi alat bagi keluarga untuk menghindari tuduhan bahwa kematian Ghurayyib terjadi karena kekerasan domestik.
Namun, seiring dengan berjalannya investigasi, jaksa menolak klaim ini, menuduh dua saudara laki-laki dan saudara ipar Ghurayyib terlibat dalam penyiksaan fisik dan psikologis terhadapnya yang mengakibatkan kematiannya. Narasi “kerasukan jin” yang awalnya dibela keluarga perlahan memudar, digantikan oleh argumen tentang penyakit mental. Ini menunjukkan bagaimana narasi dalam masyarakat konservatif dapat berubah untuk menghindari tuduhan yang lebih berat, seperti pembunuhan demi kehormatan.
Ironisnya, meskipun istilah klasik dalam bahasa Arab majnūn (berarti “dirasuki jin” dan “gila”) tidak lagi lazim digunakan, keyakinan akan hubungan antara jin dan penyakit mental masih sangat berbahaya. Ketika keluarga beralih dari narasi jin ke narasi penyakit mental, mereka tetap melindungi diri dari tuduhan hukum yang lebih berat, sementara pada saat yang sama menghindari akuntabilitas penuh.
Baginya, mungkin salah satu aspek yang paling mencolok dari kasus ini adalah tanggapan dari sistem peradilan Palestina. Meskipun jaksa menolak tuduhan bahwa kematian Isrāʾ Ghurayyib terkait dengan kehormatan keluarga, tampaknya ada keengganan untuk mengakui atau menghadapi realitas bahwa pembunuhan semacam ini masih terjadi.
Luʾay Arzīqāt, seorang juru bicara kepolisian Palestina, secara terbuka menyatakan bahwa “pembunuhan demi kehormatan tidak lagi ada dalam masyarakat kita,” meskipun laporan-laporan dari organisasi seperti Women’s Centre for Legal Aid and Counselling (WCLAC) menyatakan sebaliknya.
Apa yang paling tragis dalam kasus ini adalah hilangnya narasi Isrāʾ Ghurayyib dari ingatan publik. Setelah perhatian awal yang melibatkan media internasional, laporan tentang kematiannya semakin jarang muncul. Pada saat media Palestina juga berhenti melaporkan kasus ini, narasi kematian Isrāʾ Ghurayyib sepenuhnya hilang dari perdebatan publik.
Yang tersisa hanyalah kebisuan yang mengkhawatirkan tentang nasib para perempuan di masyarakat konservatif, di mana kontrol atas tubuh dan kehidupan mereka sering kali menjadi hak prerogatif anggota keluarga laki-laki.
Dalam catatan Irene, Isrāʾ Ghurayyib hanyalah salah satu dari banyak korban perempuan yang nasibnya diatur oleh kepercayaan dan struktur patriarki yang tidak memberikan ruang bagi mereka untuk hidup bebas dari ancaman kekerasan. Kombinasi antara narasi jin dan penyakit mental dalam kasus ini menekankan betapa rumitnya upaya untuk menyamarkan pembunuhan terhadap perempuan, baik melalui justifikasi budaya maupun spiritual.
Pada intinya, ia menyimpulkan bahwa Kasus Isrāʾ Ghurayyib mengungkapkan kegagalan sistem hukum, media, dan masyarakat internasional. Utamanya, dalam menghadapi kenyataan kekerasan berbasis gender yang melanda masyarakat patriarki.