Frensia.id – Di mana ada tambang, di situ ada penderitaan dan kerusakan lingkungan. Kalimat ini mungkin terdengar klise, tetapi sulit dibantah. Tambang sering kali menjadi penyebab utama deforestasi, pencemaran air, hingga konflik sosial. Data dari Kompas (2022) menyebutkan bahwa Indonesia adalah penyumbang deforestasi akibat tambang terbesar di dunia, mencapai 58,2 persen dari total deforestasi global. Ironisnya, kerusakan ini terus berlanjut. Pada 2024, kerugian negara akibat kerusakan lingkungan tambang timah mencapai Rp 271 triliun.
Kini, wacana baru muncul: perguruan tinggi akan diberi hak untuk mengelola tambang. Badan Usaha Milik Perguruan Tinggi (BUMP) menjadi salah satu pihak yang diusulkan untuk mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dalam revisi UU Mineral dan Batubara. Usulan ini, yang didukung Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia, telah ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR RI melalui rapat paripurna pada 23 Januari 2025.
Namun, wacana ini menuai pro dan kontra. Salah satu pihak yang menolak keras adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Mereka menganggap keterlibatan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang sebagai langkah mundur. Menurut Walhi, kampus sebagai tempat bertanya tentang intelektualitas harus bebas dari lumpur tambang. Cukup sudah bangsa ini menceburkan ulama ke lahan-lahan kotor.
Sebaliknya, Forum Rektor Indonesia justru mendukung ide ini. Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia, Didin Muhafidin, menilai pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi adalah langkah positif, asalkan perguruan tinggi tersebut berbadan hukum dan memiliki unit usaha yang kuat. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta bahkan menyatakan kesiapan jika diberikan mandat untuk mengelola tambang.
Legalitas yang memungkinkan
Secara hukum, ide ini memiliki dasar yang kuat. Pasal 87 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi memungkinkan pemerintah dan pemerintah daerah memberikan hak pengelolaan kekayaan negara, termasuk tambang, kepada perguruan tinggi. Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa hak pengelolaan ini dapat mencakup lahan, laut, tambang, hingga hutan.
Namun, legalitas ini harus dilihat secara utuh, terutama dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip lain dalam UU yang sama. Pasal 1 Ayat 9 dan 11 menegaskan bahwa pengabdian kepada masyarakat sebagai bagian dari Tridharma Perguruan Tinggi harus bertujuan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan masyarakat.
Pertanyaannya: bagaimana perguruan tinggi dapat memastikan bahwa pengelolaan tambang mendukung kesejahteraan masyarakat, sementara data menunjukkan bahwa tambang sering kali membawa kerusakan lingkungan dan penderitaan sosial?
Tantangan Moral dan Praktis
Tambang tidak hanya soal eksploitasi sumber daya, tetapi juga soal moralitas dan keadilan. Dalam Pasal 3 UU Pendidikan Tinggi, ditegaskan bahwa pendidikan tinggi harus berlandaskan prinsip keadilan, manfaat, dan kebajikan. Jika perguruan tinggi terlibat dalam pengelolaan tambang, bagaimana mereka dapat menjamin bahwa aktivitas tersebut tidak merusak lingkungan atau mengorbankan masyarakat lokal?
Kerusakan lingkungan yang disebabkan tambang bukanlah isapan jempol. Periode 2010–2014 mencatat puncak deforestasi tropis akibat tambang di Indonesia. Hal ini tidak hanya mengancam keberlanjutan ekosistem, tetapi juga merugikan generasi mendatang. Jika kampus, yang seharusnya menjadi penjaga moral bangsa, terlibat dalam industri ini, maka integritas mereka sebagai lembaga akademik dapat dipertanyakan.
Selain itu, keterlibatan kampus dalam pengelolaan tambang dapat menimbulkan konflik kepentingan. Kampus yang seharusnya menjadi ruang kritis untuk menilai dampak tambang, bisa kehilangan objektivitas jika mereka sendiri menjadi pelaku industri tersebut. Bagaimana mungkin sebuah perguruan tinggi bisa memberikan kritik yang tajam terhadap industri tambang, jika mereka sendiri terlibat di dalamnya?
Lebih Baik Mundur daripada Tercemar
Daripada menerima konsesi tambang, perguruan tinggi sebaiknya fokus pada pengembangan riset dan teknologi yang mendukung keberlanjutan. Kampus dapat menjadi pusat penelitian energi terbarukan, teknologi hijau, atau solusi inovatif untuk memitigasi kerusakan lingkungan akibat tambang.
Wacana ini memang memiliki dasar legalitas, tetapi legalitas saja tidak cukup. Perguruan tinggi harus mempertimbangkan dampak moral dan sosial dari keterlibatan mereka dalam industri tambang. Jika kampus kehilangan integritasnya sebagai tempat bertanya tentang kebenaran, maka ia hanya akan menjadi mesin ekonomi yang kehilangan arah.
Pada akhirnya, keputusan untuk menerima atau menolak hak pengelolaan tambang adalah ujian besar bagi perguruan tinggi di Indonesia. Apakah mereka akan tetap berdiri sebagai lentera peradaban, atau justru terseret ke dalam lumpur tambang yang kotor? Waktu yang akan menjawab. Namun, Penulis –barangkali kita– percaya, lebih baik kampus tidak menerima konsesi ini daripada harus menggadaikan moralitasnya.