Frensia.id – Komitmen meneguhkan karakter pribadi yang taat dalam beragama dan mulia dalam bersosial terus dilakukan oleh Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama’ (NU) Purwoasri, Kecamatan Gumukmas, Jember.
Langkah konkret ini ditempuh melalui pelaksanaan program Lailatul Ijtima’ pada Senin malam Selasa, 03/02/2025, bertempat di TPQ Az-Zahra.
Agenda tersebut dirangkai dengan beberapa segmen, di antaranya: Tawassul yang dipimpin oleh H. Abdul Miftah, istighosah Ratib Syaikhina Muhammad Khalil al-Bangkalani oleh H. Syaifuddin, ngaji kitab Bidayatul Hidayah oleh KH. Abdul Hamus, pengarahan Ketua Tanfidziyah oleh Drs. Mat Sari, dan doa oleh Kiai Abd Fatah.
Dalam pertemuan rutin yang dihadiri lebih dari empat puluh kader NU dari berbagai badan otonom, komitmen tersebut diperkuat oleh KH. Abdul Hamus melalui pengajian kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali.
Pengajian kitab dilakukan dengan metode penyampaian makna gandul beserta penjelasan berbahasa Madura halus. KH. Abdul Hamus menjelaskan penggalan keterangan kitab yang berkaitan dengan tiga kedudukan hamba dalam ibadah dan tiga kedudukan manusia dalam konteks sosial.
Relasi vertikal antara hamba dan Tuhannya terbagi menjadi tiga kategori, yaitu hamba yang salim atau selamat, yakni golongan yang menjalankan kewajiban agama dan meninggalkan maksiat, hamba yang rabih atau untung, yaitu mereka yang telah melakukan ketaatan dan terus mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah sunnah, serta hamba yang khasir atau rugi, yaitu mereka yang dzalim pada diri sendiri dan lalai terhadap kewajiban agama.
Dalam konteks relasi horizontal, manusia juga terbagi ke dalam tiga kedudukan. Derajat mulia ditandai dengan berbuat baik, menghadirkan kebahagiaan, tidak menyakiti orang lain, dan menjauhi perilaku menyimpang. Derajat hewan dan benda mati menggambarkan hubungan sosial yang tidak berimplikasi pada kemaslahatan tetapi justru menghadirkan keburukan bagi orang lain.
Sedangkan derajat hewan buas mencerminkan relasi sosial yang destruktif dan tidak memberikan manfaat bagi masyarakat.
Lebih lanjut, KH. Abdul Hamus menegaskan bahwa kader NU harus memahami konsep ini dan mengupayakan diri menjadi hamba yang rabih dan salim. Dalam berorganisasi, kader NU harus mengimplementasikan derajat mulia.
Menurutnya, jika setiap kader NU dapat melaksanakan perbuatan baik, maka mereka akan sejajar dengan kemuliaan malaikat, sehingga masyarakat Nahdliyyin bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama.
“menabi bisa kauleh sareng panjenengan sadejeh ngelaksanaagi kalakoan moljeh, sepadeh sareng kamoljennah malaikat, sopajeh masyarakat Nahdliyyin dedi oreng se bisa manfaat dek oreng lain”. Ungkapnya dengan berbahasa madura.
Penjelasan sekaligus arahan dalam berorganisasi yang disampaikan oleh KH. Abdul Hamus dikuatkan kembali oleh Ketua Tanfidziyah, Drs. Matsari. Dalam sambutannya setelah pengajian kitab, ia menegaskan bahwa wejangan kiai dapat diwujudkan melalui soliditas kader NU, khususnya Ranting Purwoasri, dalam pelaksanaan berbagai program yang sedang berjalan.
Ia menyebut bahwa kader NU harus kompak dalam melaksanakan program yang sudah disusun oleh pengurus, karena setiap program yang dilaksanakan memiliki manfaat bagi masyarakat.
Sebagai contoh, penyuluhan zakat fitrah yang diadakan tahun lalu sangat membantu masyarakat dalam memahami syarat, ketentuan, dan cara pembayarannya. Selain itu, terdapat program lain seperti Jumat Berkah dan Lailatul Ijtima’ yang terus berjalan hingga saat ini.
Kegiatan Lailatul Ijtima’ ini menjadi momentum penting bagi kader NU Purwoasri dalam mempererat ukhuwah Islamiyah dan memperkuat komitmen berorganisasi.
Dengan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran agama dan implementasi nilai-nilai sosial yang baik, diharapkan NU Ranting Purwoasri dapat terus memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat luas.
Penulis : Imam Muhajir Dwi Putra
Editor : Mashur Imam