Frensia.id – Kesalehan sosial sering kali diidentikkan dengan tindakan nyata yang bersifat material—memberi sedekah, membantu fakir miskin, membangun fasilitas umum, atau menyantuni anak yatim. Namun, ada bentuk lain dari kesalehan sosial yang sering luput dari perhatian: berbagi kesedihan.
KH. Mohammad Al-Faiz Sa’di, seorang kiai muda yang merupakan keturunan Pondok Pesantren An-Noqoyah Guluk-Guluk Sumenep dan kini mengasuh Ponpes Jalaluddin Rumi di Jember, menjelaskan idkhāl as-surūr, yaitu membahagiakan hati orang lain dengan cara apa pun yang kita miliki. Jika kita punya harta, kita bisa berbagi dengan harta. Jika kita punya tenaga, kita bisa membantu dengan tenaga. Namun, bagaimana jika kita tidak memiliki keduanya?
Menurutnya, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan berbagi kesedihan. Jika seseorang datang mengeluhkan masalah hidupnya—misalnya tentang utang, kehilangan pekerjaan, atau konflik rumah tangga—dan kita tidak bisa membantunya secara materi, maka kita bisa membantu dengan cara lain: mendengarkannya dengan penuh empati dan, jika perlu, berbagi cerita tentang kesulitan yang lebih berat dari yang ia alami.
Sekilas, ini terdengar aneh. Bukankah berbagi kesedihan justru akan menambah beban orang lain? Tidak selalu. Justru, dalam banyak kasus, seseorang merasa lebih baik ketika menyadari bahwa ia tidak sendirian dalam menghadapi masalah. Dalam psikologi, fenomena ini dikenal sebagai downward social comparison, di mana seseorang merasa lebih ringan bebannya ketika mengetahui bahwa ada orang lain yang menghadapi cobaan yang lebih besar.
Di sinilah konsep idkhāl as-surūr menjadi lebih luas dari sekadar memberi kebahagiaan secara materi. Dalam Islam, kesalehan sosial tidak hanya diukur dari sedekah dan bantuan fisik, tetapi juga dari sejauh mana seseorang bisa menghadirkan ketenangan bagi orang lain. Rasulullah ﷺ bersabda: “Perbuatan yang paling dicintai Allah adalah memasukkan kebahagiaan ke dalam hati seorang Muslim.” (HR. Thabrani)
Membahagiakan orang lain tidak harus selalu dengan memberi sesuatu yang tampak. Menjadi pendengar yang baik, misalnya, adalah bentuk sederhana dari kesalehan sosial. Dalam kehidupan modern yang serba sibuk, banyak orang tidak memiliki tempat untuk berbicara tentang masalahnya. Menyediakan waktu untuk mendengarkan seseorang tanpa menghakimi atau menyela adalah ibadah kecil yang dampaknya bisa sangat besar.
Selain itu, menunjukkan empati juga bisa menjadi jalan kebahagiaan bagi orang lain. Terkadang, seseorang tidak membutuhkan solusi, melainkan hanya ingin didengar dan dipahami. Ungkapan sederhana seperti “Saya paham perasaanmu” atau “Saya pernah mengalami hal serupa, bahkan perih perih dari masalahmu” bisa menjadi penghiburan yang luar biasa.
Di sisi lain, dalam perspektif Islam, setiap ujian adalah bentuk kasih sayang Allah. Mengingatkan seseorang pada nilai kesabaran dan keikhlasan bisa menjadi bentuk lain dari berbagi kebahagiaan. Namun, tentu saja, nasihat ini harus disampaikan dengan kelembutan, bukan dengan sikap menggurui.
Terkadang, seseorang merasa terjebak dalam masalahnya sendiri dan sulit melihat jalan keluar. Dengan berbagi pengalaman atau kisah orang lain yang berhasil melewati kesulitan, kita bisa memberikan harapan dan sudut pandang baru bagi mereka.
KH. Mohammad Al-Faiz Sa’di, yang juga merupakan salah satu dari 13 Da’i Internasional PBNU tahun 2023 yang dikirim ke Korea Selatan, mengingatkan bahwa membahagiakan orang lain tidak selalu harus dengan materi. Kata-kata yang menenangkan, kehadiran yang mendukung, dan empati yang tulus bisa menjadi bentuk lain dari ibadah sosial.
Kesalehan sosial bukan hanya tentang membantu secara fisik, tetapi juga tentang menghadirkan ketenangan di hati orang lain. Maka, jika kita tak mampu membantu seseorang dengan uang atau tenaga, setidaknya kita bisa berbagi kesedihan. Sebab, dalam empati dan kebersamaan, ada kebahagiaan yang tak ternilai harganya.*